Membicarakan Kegalauan, Resign atau tidak?
11:39:00 PM
Bulan ini ada beberapa teman lama yang curhat dengan saya tentang kegalauan mereka untuk resign setelah memiliki bayi. Kegalauan yang menurut saya nggak mudah, karena disatu sisi keinginan untuk resign dan fokus ke anak sudah sangat kuat, disisi lain ada banyak pertimbangan yang nggak mudah untuk diputuskan.
Mendengar cerita mereka, saya diam-diam bersyukur, karena sudah melewati masa-masa galau, antara resign atau tidak. Itu sangat tidak mudah, percayalah. Dan adalah kesyukuran tersendiri saat sekarang sudah bisa membersamai anak di rumah, walaupun kadang masih suka labil, hihi.
Salah satu kegalauan yang diceritakan teman-teman saya itu adalah masalah finansial. Kegalauan ini sempat saya rasakan juga, semakin galau saat keluarga menanggapi keinginan resign dengan tanya "nanti gimana kalau ada apa-apa dengan suamimu, sedang kamu nggak ada kerjaan, hanya di rumah saja", "Sekarang apa-apa mahal, sekolah mahal, rumah mahal, cabek mahal, semua mahal". Saya yakin pasti banyak yang mendapat respon seperti ini. Belum lagi ada tuntutan harus berpenghasilan ntah itu untuk membantu keluarga atau lainnya, yang kadang bikin galau adalah suami sudah mengijinkan untuk resign tapi keinginan untuk membantu keluarga juga ada.
Dan soal anak, saya barangkali adalah tipikal seorang ibu yang dianggap gila di kampung saya, ia berprofesi sebagai tukang panjat kelapa. Yang bikin memesona adalah ia membawa serta anaknya saat sedang melaksanan tugas memanjat. Saya paham kekuatirannya, andai ia bisa memilih saya yakin ia akan memilih profesi yang bisa membuatnya nyaman bersama anaknya kalaupun harus bekerja di luar rumah. Sayang keadaan menuntutnya lain, ia harus bekerja mencari nafkah. Dan lagi keadaan membawanya pada profesi tukang panjat kelapa. Maka membawa anaknya bersamanya ia pikir lebih baik, sebab menitipkannya bukan pilihan, membiarkannya menunggu di bawah sedang ia sedang berada di atas pohon kelapa juga lebih mengkuatirkan. Saya adalah yang ingin membawa anaknya kemanapun saya beranjak.
Dan soal anak, saya barangkali adalah tipikal seorang ibu yang dianggap gila di kampung saya, ia berprofesi sebagai tukang panjat kelapa. Yang bikin memesona adalah ia membawa serta anaknya saat sedang melaksanan tugas memanjat. Saya paham kekuatirannya, andai ia bisa memilih saya yakin ia akan memilih profesi yang bisa membuatnya nyaman bersama anaknya kalaupun harus bekerja di luar rumah. Sayang keadaan menuntutnya lain, ia harus bekerja mencari nafkah. Dan lagi keadaan membawanya pada profesi tukang panjat kelapa. Maka membawa anaknya bersamanya ia pikir lebih baik, sebab menitipkannya bukan pilihan, membiarkannya menunggu di bawah sedang ia sedang berada di atas pohon kelapa juga lebih mengkuatirkan. Saya adalah yang ingin membawa anaknya kemanapun saya beranjak.
Dalam perjalanan saya setelah resign, saya harus jujur jadi IRT yang full seharian di rumah (kadang) tidaklah seindah yang ada dalam angan-angan saya dulu, kadang keinginan untuk jajan pakai uang sendiri masih kuat banget, hehe. Ya, ada banyak tantangan yang menuntut saya untuk terus-terus meluruskan niat, saya resign karena Allah. Alasan ini menggerakan saya untuk mencari alasan lain sebelum memutuskan untuk resign, alasan yang mendekatkan pada Allah. Sungguh, alasan resign untuk menjaga anak belumlah terlalu kuat karena dalam perjalanannya keletihan-keletihan di rumah mengajak untuk berandai-andai. Dan ini lagi-lagi mengundang kegalauan. Maaf yee saya curhat. Hahaha
Ujian? ada banyak. Dan kita akan diuji pada hal-hal yang kita lemah disitu, contohnya saya, saya adalah tipe orang yang gampang banget kuatir, apalagi urusan uang. Makanya pas mau resign yang menjadi sumber kekuatiran saya adalah gimana kalau ada yang kurang?
Dalam kegalauan saya tetap melanjutkan niat saya untuk resign, saya memegang keyakinan, jika niat saya benar maka Allah pasti memberi saya ganti yang lebih baik.
Dan benar, ganti itu datang. Bukan dalam bentuk materi tapi dalam bentuk keyakinan, bahwa rizki Allah itu luas, banyak jenisnya, cukup lapangkan hati untuk mensyukurinya. Keyakinan ini datang dari orang-orang yang saya temui di kota Ambon, tempat saya berdomosili saat ini.
Salah satunya adalah tukang bersih-bersih sekolah yang lokasinya tepat berhadapan dengan tempat tinggal kami. Orang-orang memanggilnya dengan panggilan Bapak Madi, saya menaksir umur beliau belum sampai 40 tahun.
Awal mengenal beliau saat saya mencari orang yang bisa membersihkan penampungan air, kenalan saya merekomendasikan beliau. Kesan pertama saya adalah masyaallah kerjanya telaten banget, tidak ada tarif, judulnya minta tolong. Hehe. Lanjut cerita dari kenalan saya, bapak madi menjadi labuhan hati orang-orang saat ada keperluan mendesak. Di telfon langsung muncul.
Waktu berjalan, saya mendapati bapak ada diberbagai profesi, pagi-pagi buta, sebelum shubuh ia sudah datang ke sekolah mengangkut bertong-tong sampah, setelah itu membersihkan sekolah. Setelah urusan bersih-bersih sekolah selesai, berjalan sedikit ke pinggiran sekolah, akan didapati bapak madi bekerja membantu penjual nasi kuning. Bapak madi menjadi selaku asisten yang bertugas membukus nasi kuning. Setelah urusan nasi kuning selesai, geser sedikit ke penjual galon, disitu ada bapak madi yang mengangkat galon kesana-kemari.
Dilain kesempatan saya juga mendapati bapak madi mengambil tugas menggergaji kayu saat ada warga yang membuat warung. Di sore hari bapak madi kembali melakukan rutinitasnya disekolah yakni menyapu dan mengumpulkan sampah-sampah yang akan dibuang esok paginya. Di akhir pekan, saat saya mengajak anak saya jalan-jalan sore ke sekolah, disitu lagi-lagi ada bapak mandi, ya, disetiap ahad sore bapak Madi setia memunguti dauan-daun yang jatuh di halaman sekolah dan merapikan segala keperluan untuk esok harinya.
Saya sempat bertanya-tanya kira-kira bapak Madi digaji berapa dengan pekerjaan yang lumayan berat di sekolah, karena kepo bertanyalah saya, bapak madi menjawab disekolah ia digaji 900 ribu perbulannya. Dikesempatan lain, ia bercerita bahwa istrinya sedang hamil anak ke 3.
Mendengar bunyi tong-tong sampah setiap pagi yang diseret bapak madi keluar sekolah, hati saya ini merasa malu karena masih sering mengeluh. Bapak Madi adalah contoh nyata ikhtiar, masalah rizki biar Allah yang bagikan. Rizki Allah itu luas, cukup lapangkan hati untuk mensyukuri setiap apa yang Allah bagikan. Nggak melulu soal materi, ketenagan hidup, bisa membersamai keluarga, dan banyak kebaikan lainnya adalah bentuk rizki yang kadang terlupakan. Selama kita bergerak mencari, Allah tidak mungkin menyia-nyiakan usaha kita.
Kadang saya tersenyum sendiri saat tiba-tiba meminta tolong pada bapak Madi untuk membeli galon, saya ingat lagi kalau rizki bapak madi dititipkan Allah kepada saya, saya yakin bapak Madi dihari itu tidak pernah berpikir bahwa saya akan memintanya dibelikan air galon, sayapun demikian, komisi yang saya berikan kebapak madi pun kadang diluar rencana saya. Masyaallah, itulah Rizki, Allah yang atur, Allah yang tentukan.
Kegalauan resign atau tidak, saya pahami pasti tidaklah mudah. Saya sudah melewatinya, cerita bapak madi semoga membantu kita semakin yakin kalau semua sudah diaturNya. Tinggal jujur pada diri sendiri apa yang kita cari, apa prioritas kita dalam hidup ini. Orang lain bisa berkata apa saja, kita yang paling tahu keadaan kita, akan sangat sayang jika pada diri sendiri kita tidak bisa jujur.
:)
:)
2 comments
Masyaallah, sangat inspiratif kisahnya. Terimakasih sudah berbagi.
ReplyDeleteTetap semangat ya. Semoga pilihannya senantiasa membawa berkah :)
sama-sama Farida...
Delete