Nasihat buat Rahma :)
2:45:00 PM
Bismillah. Anas berkata, “Para Sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menyerahkan seorang wanita
kepada suaminya, maka mereka memerintahkan isteri agar berkhidmat
kepada suaminya dan memelihara haknya.”
Ummu Humaid berkata, “Para wanita Madinah, jika hendak menyerahkan
seorang wanita kepada suaminya, pertama-tama mereka datang kepada
‘Aisyah dan memasukkannya di hadapannya, lalu dia meletakkan tangannya
di atas kepalanya seraya mendo’akannya dan memerintahkannya agar
bertakwa kepada Allah serta memenuhi hak suami”[1]
‘Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib berwasiat kepada puterinya, “Janganlah
engkau cemburu, sebab itu adalah kunci perceraian, dan janganlah engkau
suka mencela, karena hal itu menimbulkan kemurkaan. Bercelaklah, karena
hal itu adalah perhiasan paling indah, dan farfum yang paling baik
adalah air.”
Abud Darda' berkata kepada isterinya, “Jika engkau melihatku marah,
maka redakanlah kemarahanku. Jika aku melihatmu marah kepadaku, maka aku
meredakanmu. Jika tidak, kita tidak harmonis.”
Ambillah pemaafan dariku, maka engkau melanggengkan cintaku. Janganlah
engkau berbicara dengan keras sepertiku, ketika aku sedang marah
Janganlah menabuhku (untuk memancing kemarahan) seperti engkau menabuh
rebana, sekalipun Sebab, engkau tidak tahu bagaimana orang yang
ditinggal pergi
Janganlah banyak mengeluh sehingga melenyapkan dayaku. Lalu hatiku
enggan terhadapmu; sebab hati itu berbolak-balik. Sesungguhnya aku
melihat cinta dan kebencian dalam hati. Jika keduanya berhimpun, maka
cinta pasti akan pergi
‘Amr bin Hajar, Raja Kindah, meminang Ummu Ayyas binti ‘Auf. Ketika dia
akan dibawa kepada suaminya, ibunya, Umamah binti al-Haris menemui
puterinya lalu berpesan kepadanya dengan suatu pesan yang menjelaskan
dasar-dasar kehidupan yang bahagia dan kewajibannya kepada suaminya yang
patut menjadi undang-undang bagi semua wanita. Ia berpesan:
“Wahai puteriku, engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau
keluar, dan engkau beralih pada kehidupan yang di dalamnya engkau naik
untuk orang yang lalai dan membantu orang yang berakal. Seandainya
wanita tidak membutuhkan suami karena kedua orang tuanya masih cukup dan
keduanya sangat membutuhkanya, niscaya akulah orang yang paling tidak
membutuhkannya. Tetapi kaum wanita diciptakan untuk laki-laki, dan
karena mereka pula laki-laki diciptakan.
Wahai puteriku, sesungguhnya engkau berpisah dengan suasana yang
darinya engkau keluar dan engkau berganti kehidupan, di dalamnya engkau
naik kepada keluarga yang belum engkau kenal dan teman yang engkau belum
terbiasa dengannya. Ia dengan kekuasaannya menjadi pengawas dan raja
atasmu, maka jadilah engkau sebagai abdi, niscaya ia menjadi abdimu
pula. Peliharalah untuknya 10 perkara, niscaya ini akan menjadi kekayaan
bagimu.
Pertama dan kedua, tunduk kepadanya dengan qana’ah (merasa cukup), serta mendengar dan patuh kepadanya.
Ketiga dan keempat, memperhatikan mata dan hidungnya.
Jangan sampai matanya melihat suatu keburukan darimu, dan jangan sampai
mencium darimu kecuali aroma yang paling harum.
Kelima dan keenam, memperhatikan tidur dan makannya. Karena terlambat makan akan bergejolak dan menggagalkan tidur itu membuat orang marah.
Ketujuh dan kedelapan, menjaga hartanya dan memelihara
keluarga dan kerabatnya. Inti perkara berkenaan dengan harta ialah
menghargainya dengan baik, sedangkan berkenaan dengan keluarga ialah
mengaturnya dengan baik.
Kesembilan dan kesepuluh, jangan menentang perintahnya dan
jangan menyebarkan rahasianya. Karena jika engkau menyelisihi
perintahnya, maka hatinya menjadi kesal dan jika engkau menyebarkan
rahasianya, maka engkau tidak merasa aman terhadap pengkhianatannya.
Kemudian janganlah engkau bergembira di hadapannya ketika dia
bersedih, dan jangan pula bersedih di hadapannya ketika dia bergembira”[2]
Seseorang menikahkan puterinya dengan keponakannya. Ketika ia hendak membawanya, maka dia berkata kepada ibunya, “Perintahkan kepada puterimu agar tidak singgah di kediaman
(suaminya) melainkan dalam keadaan telah mandi. Sebab, air itu dapat
mencemerlangkan bagian atas dan membersihkan bagian bawah. Dan janganlah
ia terlalu sering mencumbuinya. Sebab jika badan lelah, maka hati
menjadi lelah. Jangan pula menghalangi syahwatnya, sebab keharmonisan
itu terletak dalam kesesuaian.
Ketika al-Farafishah bin al-Ahash membawa puterinya, Nailah, kepada
Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan Radhitallahu ‘anhu, dan beliau telah
menikahinya, maka ayahnya menasihatinya dengan ucapannya, “Wahai
puteriku, engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy
yang lebih mampu untuk berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua hal
ini : bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma bejana
yang terguyur hujan.”
Abul Aswad berkata kepada puterinya, “Jangalah engkau cemburu, sebab
kecemburuan itu adalah kunci perceraian. Berhiaslah, dan sebaik-baik
perhiasan ialah celak. Pakailah wewangian, dan sebaik-baik wewangian
ialah menyempurnakan wudhu.’”
Ummu Ma’ashirah menasihati puterinya dengan nasihat berikut ini yang telah diramunya dengan senyum dan air matanya: “Wahai
puteriku, engkau akan memulai kehidupan yang baru… Suatu kehidupan yang
tiada tempat di dalamnya untuk ibumu, ayahmu, atau untuk seorang pun
dari saudaramu.
Engkau akan menjadi teman bagi seorang pria yang tidak ingin ada
seorangpun yang menyekutuinya berkenaan denganmu hingga walaupun ia
berasal dari daging dan darahmu.
Jadilah engkau sebagai isteri, wahai puteriku, dan jadilah engkau
sebagai ibu baginya. Jadikanlah ia merasa bahwa engkau adalah segalanya
dalam kehidupannya dan segalanya dalam dunianya.
Ingatlah selalu bahwa suami itu anak-anak yang besar, jarang sekali
kata-kata manis yang membahagiakannya. Jangan engkau menjadikannya
merasa bahwa dengan dia menikahimu, ia telah menghalangimu dari
keluargamu.
Perasaan ini sendiri juga dirasakan olehnya. Sebab, dia juga telah
meninggalkan rumah kedua orang tuanya dan meninggalkan keluarganya
karenamu. Tetapi perbedaan antara dirimu dengannya ialah perbedaan
antara wanita dan laki-laki.
Wanita selalu rindu kepada keluarganya, kepada rumahnya di mana dia
dilahirkan, tumbuh menjadi besar dan belajar. Tetapi dia harus
membiasakan dirinya dalam kehidupan yang baru ini.
Ia harus mencari hakikat hidupnya bersama pria yang telah menjadi
suami dan ayah bagi anak-anaknya. Inilah duniamu yang baru, wahai
puteriku. Inilah masa kini dan masa depanmu. Inilah mahligaimu, di mana
kalian berdua bersama-sama menciptakannya.
Adapun kedua orang tuamu adalah masa lalu. Aku tidak memintamu
melupakan ayah dan ibumu serta saudara-saudaramu, karena mereka tidak
akan melupakanmu selama-lamanya. Wahai sayangku, bagaimana mungkin ibu
akan lupa belahan hatinya?
Tetapi aku meminta kepadamu agar engkau mencintai suamimu,
mendampingi suamimu, dan engkau bahagia dengan kehidupanmu bersamanya.”
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi ‘Udzr ad-Du'ali -pada hari-hari pemerintahan
‘Umar Radhiyallahu ‘anhu- menceraikan wanita-wanita yang dinikahinya.
Sehingga muncullah kepadanya beberapa peristiwa yang tidak disukainya
berkenaan dengan para wanita tersebut dari hal itu.
Ketika dia mengetahui hal itu, maka dia memegang tangan ‘Abdullah bin
al-Arqam sehingga membawanya ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada
isterinya: “Aku memintamu bersumpah demi Allah, apakah engkau benci kepadaku?” Ia menjawab, “Jangan memintaku bersumpah demi Allah.” Dia mengatakan, “Aku memintamu bersumpah demi Allah.” Ia menjawab, “Ya.”
Kemudian dia berkata kepada Ibnul Arqam, “Apakah engkau dengar?” Kemudian keduanya bertolak hingga sampai kepada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu lalu mengatakan, “Kalian mengatakan bahwa aku menzhalimi kaum wanita dan menceraikan mereka. Bertanyalah kepada al-Arqam.”
Lalu ‘Umar bertanya kepadanya dan mengabarkannya. Lalu beliau mengirim
utusan kepada isteri Ibnu Abi ‘Udzrah (untuk datang kepada ‘Umar). Ia
pun datang bersama bibinya, lalu ‘Umar bertanya, “Engkaukah yang bercerita kepada suamimu bahwa engkau marah kepadanya?”
Ia menjawab, “Aku adalah orang yang mula-mula bertaubat dan menelaah
kembali perintah Allah kepadaku. Ia memintaku bersumpah dan aku takut
berdosa bila berdusta, apakah aku boleh berdusta, wahai Amirul Mukminin?” Dia menjawab, “Ya, berdustalah.
Jika salah seorang dari kalian tidak menyukai salah seorang dari kami,
janganlah menceritakan hal itu kepadanya. Sebab, jarang sekali rumah
yang dibangun di atas dasar cinta, tetapi manusia hidup dengan Islam dan
mencari pahala”[3]
Kepada setiap muslimah yang memenuhi hak-hak suaminya dan takut terhadap
murka Rabb-nya karena dia mengetahui hak suaminya atasnya! Inilah
contoh sebagian pria yang mensifati isterinya yang tidak mengetahui hak
suaminya dan tidak pula memelihara kebaikannya.
Ia tidak mempercantik diri dan tidak berdandan untuknya, serta bermulut
kasar. Ia mensifatinya dengan sifat yang membuat hati bergetar dan
telinga terngiang-ngiang. Camkanlah sehingga engkau tidak jatuh ke
tempat yang menggelincirkan ini.
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia
Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin
Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsair]
__________
Foote Note
[1]. HR. Ibnu Abi Syaibah (IV/305-306).
[2]. Ahkaamun Nisaa’, Ibnul Jauzi (hal. 74-78).
[3]. Syarhus Sunnah (XIII/120).
1 comments
nasihat buatku juga, mbaaak...
ReplyDeletejadi kapan, niii, tanggal mainnya? :)