Catatan seorang anak #2
10:55:00 AM
Shubuh tadi saya di hubungi
kakak saya, beliau mengabarkan bahwa bapak saya perlahan-lahan kehilangan
ingatannya. Mendengar kabar ini saya tidak banyak berkata-kata, saya tahu bahwa
sebenarnya saya tidak sabar dan ingin menangis saja. Tapi saya berusaha
senormal mungkin, saya tetap berangkat ke tempat kerja seperti biasanya.
Dalam perjalanan, saya coba
menenangkan diri dengan mengingat-ngingat kenangan baik bersama bapak. Besok
tepat tiga belas tahun saya meninggalkan rumah, jangan tanyakan berapa ember
rindu yang tumpah. Selama kurun waktu tiga belas tahun itu saya tidak pernah
sekalipun mengatakan rindu, bukan karena benar-benar tidak rindu hanya saja
dalam kepala saya ini ada pemikiran kalau rindu saya ini bisa menjadi beban
untuk orang tua saya di kampung, jarak kami hanya bisa diselesaikan dengan
perjalanan laut selama empat hari pastilah merepotkan jika ke dua orang tua saya
harus bolak-balik menjenguk saya yang jauh di sini. Baru-baru ini pesawat sudah sampai di kampung saya, sangat membantu menyelesaikan rindu.
Mendengar bahwa bapak mulai
kehilangan ingatannya sebenarnya menghadirkan banyak ketakutan. Rasanya saya
belum melakukan apa-apa untuk beliau, saya saya sangat takut jika bapak
melupakan saya.
Beberapa bulan yang lalu, bapak
bertanya pada saya, 'apakah di akhirat nanti kami masih bisa bertemu,' saya tidak
langsung menjawab pertanyaan bapak, saya memikirkan banyak hal, ‘bapak kelak
bagaimana kita harus saling menandai, mungkin pertemuan kita berikutnya setelah
kehidupan ini adalalah di padang mahsyar. Di sana pasti ramai, bagaimana kita
bisa saling mengenal.' Pertanyaan bapak tempo hari hampir teringat setiap saat,
jika kebersamaan hanya di dunia, sungguh ini amat singkat.
Lebaran lalu, saya pulang dengan
rindu yang menggunung. Kata ibu saya, dari seminggu sebelumnya, bapak
mengulang-ngulang pertanyaan yang sama, ‘kapan buyung pulang’, karena ingatan
bapak mulai berkurang, belum berapa menit, pertanyaan yang sama di ulangnya
lagi. Saya turun dari kapal dengan langkah yang buru-buru, benar, laki-laki
penyayang itu memang sudah menungguku, pertemuan kami seperti obat, air mata
saya meleleh. Cinta macam apa cinta laki-laki ini hingga bisa membuat saya merasa
ditimbuni rasa bersalah karena rasanya tak satupun usaha yang telah saya lakukan
untuk membahagiakannya.
Hari-hari selama di kampung
menjadi begitu sendu, saya bisa duduk berjam-jam memandangi bapak yang lebih
banyak melewatkan waktu di tempat tidur. Jika sedang terbangun, saya akan
mengajak bapak bercerita apa saja, menceritakan waktu-waktu yang kami lewatkan
bersama, makan bersama, memotong kuku bersama kemudian saya mengambil gunting
kuku dan memotong kuku-kuku kaki bapak, sesekali kami akan berjemur sama-sama.
Di tengah obrolan, bapak akan bertanya pelan, dzikir apa yang harus beliau
baca.
Karena tak bisa lagi mengingat
dengan baik, bapak minta di tuliskan dzikir-dzikir harian yang bagus di baca
setiap hari, saya kembali menitikan air mata saat mendapati kertas yang berisi
dzikir-dzikir itu bapak tempelkan di samping tempat tidurnya, kata ibu, setiap
kali kertas itu ingin di cabut keponakan saya, bapak akan berkata “ jangan
pindahkan kertas itu, itu dzikir yang buyung tuliskan untuk saya baca setiap
hari”
Dua hari sebelum lebaran, bapak
kesakitan hingga tak mengingat apa-apa, dzikir yang biasa beliau ulang-ulang
pun tak bisa beliau lafadzkan, kesedihan saya membuat kerongkongan saya seperti
tersumbat, saya merapel do’a-do’a agar bapak dimudahkan untuk mengingat
Allah.
Lebaran datang dengan tidak
biasanya untuk keluarga saya, biasanya disetiap lebaran saya dan bapak selalu
berboncengan ke tanah lapang, lebaran kemarin bapak tidak bisa menghadiri
sholat id, ini kali pertama bapak seperti ini. Saya kelapangan dengan mata
berair, selepas sholat, saya langsung lari ke rumah, saya mendatangi kamar
bapak dengan air mata berderai-derai, saya mencium tangan bapak lama sekali,
setelah itu saya menawarkan pada bapak untuk mengganti baju, bapak mengiyaakan.
Saya mengganti baju bapak dengan pelan-pelan dan memakaiakan beliau minyak
rambut, setelah itu saya menyisir rambut beliau. Bapak, saya mencintaimu sepanjang waktu.
Entah apa yang beliau rasakan sekarang ini. Bapak, cepatlah sembuh, ingat rencana kita
untuk kembali lagi ke tanah suci, thawah sambil berpegangan tangan, berdo’a,
melihat-lihat ka’bah, saya akan akan lebih kuat lagi mendorong bapak di kursi
roda asal bapak cepat sembuh.
Saat ini, saya tidak tahu apa yang bisa menyelesaikan rindu selain do'a.
Saat ini, saya tidak tahu apa yang bisa menyelesaikan rindu selain do'a.
22 Agustus 2013
7 comments
Doa adalah hal terbaik yg bisa dilakukan anak untuk orangtuanya yang jauh.
ReplyDeleteiyaa...benar..
DeleteTerharu membacanya :')
ReplyDeleteSalam untuk bapak mba, moga cepat sembuh dan slalu diberi kekuatan :)
iyaa..makasih ya..
DeleteLagi-lagi saya terdiam haru membacanya..
ReplyDeleteSemoga Allah memberikan yang terbaik buat beliau..
iyaa...aamiin..
Deletembak Rakhma...........................
ReplyDeletebingung mau komentar apa,
mungkin Bapak saat ini belum mengingat apa-apa,
tapi, percayalah, mbak
kenangan Bapak terhadap masa lalu akan selalu tersimpan di hati beliau sampai Allah mengembalikannya pada masa terbaik :)
salam sehat, kuat, dan semangat untuk mbak Rakhma sekeluarga