Catatan Perjalanan Umrah: Madinah
11:05:00 PM
Saat membicarakan tanah suci saya yakin akan sedikit sekali yang hatinya tidak bergetar. Dulu waktu masih kecil saya sempat heran pada orang tua saya yang selalu semangat saat bercerita tentang tanah suci, begitu terus berulang mereka tak pernah bosan mengulang cerita yang sama, dengan rindu yang sama ingin kembali. Kini saya mengerti betapa tanah suci mengundang banyak rindu yang membuat hati bergetar pun sekedar hanya mendengar namanya di sebut, Madinah, Mekkah, Ka'bah, Raudah, dan semua yang ada di tanah suci, bahkan semilir anginnya saja bikin rindu. Masyaallah.
Pertama kali umrah tahun 2013 lalu saya berangkat dalam keadaan uang serba pas-pasan, umrah akhir bulan lalu pun demikian, saya menguras tabugan saya sampai keraknya. Tapi Allah menggantinya sangat cepat, bahkan sebelum saya menginjakan kaki di tanah suci. Ada rasa bahagia yang tidak bisa saya jelaskan, tidak bisa saya nominalkan besarnya. Rasa bahagia yang rasakan semakin bertambah-tambah karena pada dua kesempatan ke tanah suci saya diberi kesempatan untuk untuk membersamai orang tua saya dihari-hari senja mereka.
Pertama kali umrah tahun 2013 lalu saya berangkat dalam keadaan uang serba pas-pasan, umrah akhir bulan lalu pun demikian, saya menguras tabugan saya sampai keraknya. Tapi Allah menggantinya sangat cepat, bahkan sebelum saya menginjakan kaki di tanah suci. Ada rasa bahagia yang tidak bisa saya jelaskan, tidak bisa saya nominalkan besarnya. Rasa bahagia yang rasakan semakin bertambah-tambah karena pada dua kesempatan ke tanah suci saya diberi kesempatan untuk untuk membersamai orang tua saya dihari-hari senja mereka.
Alhamdulillah.
Setelah melewati penghematan ekstrim yang panjaaaaaang, betapa leganya saat tabungan saya cukup untuk menemani wa ina (baca: Ibu) untuk berumrah. Saya termaksud orang yang sangat suka membuat kenangan, dari jauh-jauh hari saya sudah membayangkan menemani Wa ina umrah adalah cara saya membuat kenangan dengan beliau. Kenang-kenangan yang akan saya ingat terus seumur hidup. Membuat tulisan ini juga adalah satu cara saya menyimpan kenangan bersama Wa ina.
Bismillah.
Tanggal 27 Februari 2018 Pukul 08.30 WITA kami berangkat dari Makassar menuju Jeddah. Kami sampai di Jeddah Jam 10 malam waktu Jeddah. Setelah menunggu sebentar, kami berangkat menggunakan bis menuju Madinah. Sepanjang perjalanan hati saya ini terharu nggak karuan, saya mengingat lagi beberapa bulan lalu saat niat untuk menemani wa ina umrah membuat tidur saya tidak nyenyak, saya berpikir siang malam bagaimana caranya mendapatkan uang, sempat kepikiran untuk berutang pada kakak, masyaallah, Allah cukupkan dengan cara yang tidak saya pikirkan sebelumnya. Bisa menemani Wa ina berumrah adalah salah satu mimpi terbesar dalam hidup saya dan jadi nyata.
Kami Sampai di Madinah lewat tengah malam, mata saya berkaca-kaca saat lampu-lampu menara Masjid Nabawi terlihat samar, semakin dekat semakin tidak bisa saya kuasai hati saya. Ya Allah terima kasih, "Wa ina Alhamdulillah kita sampai di Madinah.. Alhamdulillah" ucapku haru.
DAY 1
Hari pertama di Madinah. Hotel yang kami tempati tepat di Depan Masjid Nabawi. Keluar dari Lobi Hotel langsung berhadapan dengan pintu masuk Masjid nomor 22. Saya masih takjub, antara percaya nggak percaya saya sudah ada di Madinah.
Saya menggandeng tangan Wa ina, kami berjalan mendekati Masjid. Saya menarik nafas panjang saat memasuki pelataran Masjid Nabawi, kenangan umrah lima tahun lalu kembali datang, bersama bapak, saya mendorong beliau di kursi roda. Hari ini bersama Wa ina. Saya menggenggam tangan Wa ina erat-erat sambil mengatur-ngatur hati, Entah bagaimana harus berterima kasih atas kesempatan ini ya Allah.
Perjalanan umrah dengan Wa ina semakin membuat saya menghayati hubungan ibu dan anak, betapa seorang anak memiliki kedudukan tersendiri di hati ibunya. Mata Wa ina katarak, mungkin silinder juga karena tidak bisa membedakan ketinggian. Bisa dibilang dalam perjalanan ini Wa ina begitu tergantung pada saya, mulai dari membuka pintu kamar hotel sampai kembali lagi ke hotel.
Ba'da Shubuh saya dan Wa ina kembali ke Hotel. Rencana pagi ini rombongan umrah akan ke Raudah. Kami sempat menunggu sebentar di Loby dan akhirnya saya mengajak Wa ina untuk pergi berdua saja, Alhamdulillah, bisa.
Entah mengapa saya sering sekali terharu tiap kali melihat Wa ina sholat, T_T. Kadang saya hanya duduk diam untuk beberapa saat menatap punggung Wa ina. Saya mengingat lagi betapa sering saya menyakiti hati beliau, tapi beliau tidak sekalipun menyimpan itu dalam hatinya, selalu ada maaf. Saya mengingat lagi selama ini sering mengacuhkan rasa kuatirnya. Saya kadang merasa lebih tahu darinya, Wa ina memang tidak tamat SD tapi karena keringatnya dan bapak saya bisa sekolah sampai sarjana. Wa Ina maafkan saya.
Keluar dari Raudah saya memeluk Wa ina erat, ya Allah terima kasih lagi atas kesempatan ini.
DAY 2
Hari ke dua di Madinah, saya mengajak Wa ina jalan-jalan di sekitar Masjid Nabawi. Yang akan saya kenang dikemudian hari, dalam perjalanan ini saya dan Wa ina selalu perpegangan tangan. Lebay ya, hehe, terakhir begini waktu saya masih kecil, ingin ikut kemana saja wa ina pergi.
Setelah itu kami kembali ke hotel karena akan ada ziarah di kota Madinah, Masjid Quba, dan Kebun Kurma.
Kami juga sempat membeli oleh-oleh. Untuk teman-teman yang pertama kali Umrah dan ingin jajan oleh-oleh langsung jalan ke pintu nomor 15, di sana banyak yang buka lapak dan harganya miring banget, lebih murah banget dibandingkan harga-harga jualan yang disekitaran hotel.
Beberapa hari sebelum melunasi uang umrah, suami saya mengatakan bahwa rasa membersamai wa ina di tanah suci tak akan pernah sebanding dengan apa yang saya rasakan. Dan benar, bahagia seperti menyusup masuk dalam hati, tentram sekali rasanya, semua jerih payah menabung selama ini terbayar sudah.
Kejuatan di hari ke dua ini saya dan Wa ina bertemu ustadz Amir. Lima tahun lalu kami berumrah dengan travel beliau, rumah kami di Bekasi bersampingan, kami tetanggaan. Masyaallah.
Selama bertetangga dengan beliau ada banyak sekali pelajaran yang saya ambil, saya harus bilang, sejauh perjalanan yang saya tempuh di umur saya yang sudah masuk kepala tiga, saya tidak pernah menemukan orang seperti ustadz Amir. Yang aura kebaikannya begitu terasa, dari beliau saya belajar bagaimana memuliakan tetangga. Masyaallah. Dulu beliau yang mengurus semua pemakaman anak saya yang pertama, bahkan beliau yang membayar tanah pemakamannya. Jazakallahu khairan ustadz.
DAY 3
Setiap kali ke Masjid ada saja-saja hal yang membuat saya takjub. Di antaranya Jamaah-jamaah lanjut usia yang berjalan dengan tertatih ke Masjid, Anak-anak yang mendorong orang tuanya dengan setia di kursi roda, mereka yang menabung bertahun-tahun dengan peluh dan air mata untuk bisa ke tanah suci, dan pertemuan dengan Bu Sofi.
Bu Sofiah Balfas adalah direktur Operasional dan (mantan keuangan) PT. Bukaka Teknik Utama, tempat saya bekerja dulu. Beliau ada di Madinah juga, Masyaallah, beliau juga sedang berumrah, kami bertemunya nanti di Mekkah. Akan saya ceritakan nanti betapa beliau ini sangat menginspirasi.
Di hari ke tiga saya dan Wa ina ke Raudah lagi. Alhamdulillah dimudahkan, tadinya saya sempat takut wa ina terjatuh saat orang berdesak-desakan, tapi ternyata lancar-lancar saja.
Untuk teman-teman yang membawa orang tuanya berumrah ada sedikit tips saat masuk Raudah. Saat mengantri di pintu masuk ambil sisi kanan, nanti setelah diijinkan masuk orang-orang akan berlari ke arah kiri mendekati karpet hijau raudah, nggak usah ikutan lari ke sebelah kiri tapi pas masuk langsung belok kanan. Pas belok kanan ada pintu kecil bertuliskan Emergency Exit. Lewat situ saja, kemudian belok kiri dan akan kita jumpai orang-orang yang keluar dari Raudah. Jalan dengan tenang saja, kondisinya lebih lowong. Caranya ini selalu saya pakai setiap masuk Raudah dan alhamdulillah mudah, apalagi pas bawa orang tua.
DAY 4
Hari terakhir di Madinah. Rasanya sedih!
Hari ini saya dan Wa ina larut dalam perasaan masing-masing. Entah apa yang ada dalam pikiran Wa ina.
Dalam obrolan kami, Wa ina mengingat Bapak dan perjalanan Umrah kami lima tahun lalu. Wa ina mengingat lagi perjalanan haji bersama bapak 30 tahun yang lalu.
Sejak awal saya sudah tahu, bahwa ke tanah suci adalah salah satu cara Wa ina mengenang Bapak.
Sebelum meninggalkan Makkah saya dan Wa ina duduk disalah satu sudut masjid memperhatikan pilar masjid yang megah, lampu-lampu yang membuat takjub, dispenser air zam-zam yang selalu terisi, setelah itu saya mengajak wa ina ke Raudah.
Saya menatap leka-lekat kubah Hijau Masjid Nabawi, rasanya sudah rindu padahal belum berpisah. Saya yang biasanya banyak bicara kehabisan kata-kata. Ya Allah terima amal ibadah kami selama di Madinah, perkenankan kami kembali, mudahkan setiap hambamu yang merindu untuk bertamu.
Saya menggandeng tangan Wa ina keluar dari Masjid. Air mata saya jatuh-jatuh. Terima kasih ya Allah atas pengalaman ini, atas kesempatan ini.
1 comments
Masya Allah tabarakallah. Tulisannya dari hati banget sampe kena ke hati. Saya bacanya sampai ikut menitikkan air mata, teringat perjalanan umrah tahun kemarin juga. Madinah memang ngangenin,ga akan pernah lupa
ReplyDelete