Madinah❤
8:58:00 AMSelama di Madinah, Saya banyak melewatkan waktu sore di salah satu sudut Masjid Nabawi. Biasanya saya ke tempat itu melewati pintu nomor 25. Nggak jauh dari tempat saya duduk ada halaqah anak-anak yang belajar Al quran. Tadinya saya nggak ngeh, tapi beberapa kali melihat anak-anak membaca quran di depan pengajar yang kelihatan masih muda juga, disitu saya baru sadar kalau hampir setiap sore ada semacam kelas-kelas kecil anak-anak yg belajar Al Quran di Masjid Nabawi
Pemandangan muslimah-muslimah pengajar Al quraan dan anak-anak kecil mengalihkan rasa lapar dan ngantuk yang saya tahan-tahan sejak habis dzuhur, masyaallah, baju hitam lebar yang mereka kenakan membuat mata saya ini jelalatan tiada henti, jujur sebelumnya saya nggak pernah melihat yang sememesona ini. Nggak terasa halaqoh anak anak itu selesai, mereka bergegas merapikan meja-meja kecil yang mereka gunakan. Dan pengajar memesona itu serentak mengambil kain lalu menutupi wajah mereka, ini semakin membuat saya meleleh. Mereka berlalu satu satu, dan saya masih dipojokan terus jelalatan😅
Nggak lama berselang pas keluar masjid saya berpapasan dengan jamaah Indonesia dengan hijab syari kekinian yang lagi tren di negara kita, beberapa ada yang tetap mempertahankan gincu dan alis, saya sempat tersenyum sendiri, oh perempuan😆
Saya nggak bisa ngebayangin apa yang akan terjadi jika pengajar al quran yang saya jumpai dalam masjid keluar tidak menutup wajah, bisa jadi peristiwa potong jari akan terulang atau minimal tabrak tembok sangking terpesonanya. Masyaallah.
Sejujurnya dulu saya sempat nggak tahu, lebih tepatnya susah mengerti alasan seseorang mengenakan cadar, mulai dari hukum mengenakannya sampai kecendurangan umum perempuan ingin menampakan apa yang ada didirirnya terlebih kalau ia memiliki wajah yang cantik. Belum lagi zaman sekarang, godaannnya lebih dahsyat, udah berjilbab segede seprei aja masih tetap ingin terlihat menawan.
Ngomongin cadar, saya pertama kali berinteraksi dengan perempuan yang menggunakan cadar waktu kuliah, itupun sempat syok dulu, ceritanya saya si mahasiswa baru disuruh nunggu jemputan di kamar asrama, tiba-tiba ada yang ngetok pintu, pas saya buka pintu di depan saya ada sesosok makhluk yang serba hitam, matanya juga hampir nggak kelihatan. Aseli jantung gue hampir copot, untuk beberapa saat saya sempat syok dan langsung menutup pintu.
Ternyata pas masuk Kampus Unhas ada banyak akhwat (baca: perempuan) yang mengenakan cadar. Antara bingung, nggak percaya, dan bertanya-tanya. Sampai suatu hari saya nanya ke senior saya alasan dia bercadar apa?
Takwa.
Jawabannya sesimple itu. Trus kalau nggak bercadar takwanya kurang kak? tanyaku dengan lugu.
Dijawab dengan senyum. Dulu sih saya nggak ngerti, mungkin maksud senyum itu, saya disuruh nunggu sampai ngerti sendiri.
Dan selanjutnya, di Kampus saya akrab dengan beberapa teman yang mengenakan cadar, di asrama mahasiswa ada beberapa senior juga yang pakai cadar. Saya sangat bersyukur pada fase menjadi mahasiswa saya berkenalan dengan mereka dan cadar yang mereka kenakan. Saat tahu pengorbanan yang mereka lakukan saat mengenakan cadar membuat saya malu sekaligus paham takwa yang dimaksud senior saya tempo hari. Dengan cadar yang mereka kenakan ada banyak sekali kenikmatan dunia dan kesempatan yang mereka tinggalkan. Nggak usah ngomongin kerjaan impian di perusahaan-perusahaan, di kampus dan di tempat umum saja mereka sering mendapat tatapan aneh, dipanggil ninja lah, dibilang lebay lah, dibilang ekstrimlah, pokoknya macem-macem. Bahkan beberapa ada yang sampai diasingkan keluarganya.
Bukan hanya masalah ingin eksis atau enggak di zaman dimana setiap orang mengejar eksistensi, dengan cadar otomatis pergaulan mereka terbatas, kayaknya nggak lucu aja cadaran tapi masih suka mejeng atau ketawa-ketiwi sama yang bukan muhrim, Dan ini emang saya dapati di diri mereka, cadar bukan hanya kain penutup wajah lagi lebih dari itu cadar menjadi 'agama' yang menahan mereka untuk bertingkah yang aneh-aneh, untuk menampakan diri, atau sekedar makan di tempat umum (dulu masih jarang banget lihat perempuan bercadar di mol atau tempat umum lainnya). Kelihatan ekstrim awalnya, tapi lama-lama saya akui bukan cara gaul mereka yang ekstrim tapi saya yang belum sanggup membuang sifat-sifat nggak benar yang ada didiri saya. Cadar benar-benar membuat mereka rela untuk meninggalkan perangai-perangai yang agama nggak suka, tapi manusia suka.
Terlepas dari hukum mengenakannya, yang pro dan kontra, saya yakini cadar adalah bagian dari agama ini, bagian dari usaha menyempurnakan hijab dan jujur saya belum sanggup jika ditanya kesanggupan mengenakan cadar. Yang saya ceritain di atas itu dulu, awal kali mengenal cadar, dulu banget waktu saya masih anak kuliahan. hehe
Sekarang saat menengok ke instagram dan media sosial, di sana ada banyak banget yang cadaran dan bisa eksis. Bahkan ada yang ramai di endorse karena cadar yang ia kenakan. Saya bukannya mau ngomongin niat atau gaya kekinian mengenai cadar, tentang niat nggak ada seorang pun yang bisa mengintip niat yang ada dihati seseorang.
Ya. Setiap orang masih berproses. Cadaran atau berjilbab syar'i tapi masih membawa sifat yang dulu, ya nggak masalah asal mau berubah, saya sendiri masih jauh banget dari akhlak mulia. Yang jadi masalah adalah nggak sadar bahwa konsekuensi pilihan untuk bercadar atau berjilbab syar'i adalah menjaga akhlak. Cadar dan Jilbab bisa jadi untuk sebagian orang memang hanya kain yang menutupi kepala dan wajah, tapi kain itu menjadi simbol agama saat dikenakan dan kita nggak bisa pungkiri saat ada yang salah maka cadar dan jilbab yang akan dilihat lebih dulu.
Ini hanya pendapat saya saja ya, bisa jadi kurang tepat. 😊
Kadang saya suka iri saat ketemu atau sekedar ngobrol di wa dengan teman-teman zaman kuliah dulu, mereka masih istiqomah dengan jilbab besar yang sederhana, dengan cadar mereka yang sederhana juga, yang paling membuat saya iri adalah mereka sama sekali nggak suka populer, mereka memilih untuk menjadi manusia-manusia yang tersembunyi, Masyaallah. Pada mereka kain itu dalam wujud Takwa yang diperjuangkan. Dengan kain yang mereka kenakan, mereka terjaga.
----
Beberapa jam sebelum meninggalkan Madinah, saya kembali ke pojokan Masjid Nabawi yang biasa saya datangi dan ngambil beberapa foto dengan kamera ponsel buat kenang-kenangan. Trus tiba-tiba ada anak kecil yang nyambar handphone saya, Ya Alloh.. Kaget banget gue. Foto-foto di handphone saya massssa diapus, dikiranya saya ngambil gambar guru mereka. 😂😂😂😂
Ya udah saya pasrah aja 😂. Masyaallah. Memang harusnya demikian perempuan, menjaga diri, pun sekedar gambar dirinya.
:)
Takwa.
Jawabannya sesimple itu. Trus kalau nggak bercadar takwanya kurang kak? tanyaku dengan lugu.
Dijawab dengan senyum. Dulu sih saya nggak ngerti, mungkin maksud senyum itu, saya disuruh nunggu sampai ngerti sendiri.
Dan selanjutnya, di Kampus saya akrab dengan beberapa teman yang mengenakan cadar, di asrama mahasiswa ada beberapa senior juga yang pakai cadar. Saya sangat bersyukur pada fase menjadi mahasiswa saya berkenalan dengan mereka dan cadar yang mereka kenakan. Saat tahu pengorbanan yang mereka lakukan saat mengenakan cadar membuat saya malu sekaligus paham takwa yang dimaksud senior saya tempo hari. Dengan cadar yang mereka kenakan ada banyak sekali kenikmatan dunia dan kesempatan yang mereka tinggalkan. Nggak usah ngomongin kerjaan impian di perusahaan-perusahaan, di kampus dan di tempat umum saja mereka sering mendapat tatapan aneh, dipanggil ninja lah, dibilang lebay lah, dibilang ekstrimlah, pokoknya macem-macem. Bahkan beberapa ada yang sampai diasingkan keluarganya.
Bukan hanya masalah ingin eksis atau enggak di zaman dimana setiap orang mengejar eksistensi, dengan cadar otomatis pergaulan mereka terbatas, kayaknya nggak lucu aja cadaran tapi masih suka mejeng atau ketawa-ketiwi sama yang bukan muhrim, Dan ini emang saya dapati di diri mereka, cadar bukan hanya kain penutup wajah lagi lebih dari itu cadar menjadi 'agama' yang menahan mereka untuk bertingkah yang aneh-aneh, untuk menampakan diri, atau sekedar makan di tempat umum (dulu masih jarang banget lihat perempuan bercadar di mol atau tempat umum lainnya). Kelihatan ekstrim awalnya, tapi lama-lama saya akui bukan cara gaul mereka yang ekstrim tapi saya yang belum sanggup membuang sifat-sifat nggak benar yang ada didiri saya. Cadar benar-benar membuat mereka rela untuk meninggalkan perangai-perangai yang agama nggak suka, tapi manusia suka.
Terlepas dari hukum mengenakannya, yang pro dan kontra, saya yakini cadar adalah bagian dari agama ini, bagian dari usaha menyempurnakan hijab dan jujur saya belum sanggup jika ditanya kesanggupan mengenakan cadar. Yang saya ceritain di atas itu dulu, awal kali mengenal cadar, dulu banget waktu saya masih anak kuliahan. hehe
Sekarang saat menengok ke instagram dan media sosial, di sana ada banyak banget yang cadaran dan bisa eksis. Bahkan ada yang ramai di endorse karena cadar yang ia kenakan. Saya bukannya mau ngomongin niat atau gaya kekinian mengenai cadar, tentang niat nggak ada seorang pun yang bisa mengintip niat yang ada dihati seseorang.
Ya. Setiap orang masih berproses. Cadaran atau berjilbab syar'i tapi masih membawa sifat yang dulu, ya nggak masalah asal mau berubah, saya sendiri masih jauh banget dari akhlak mulia. Yang jadi masalah adalah nggak sadar bahwa konsekuensi pilihan untuk bercadar atau berjilbab syar'i adalah menjaga akhlak. Cadar dan Jilbab bisa jadi untuk sebagian orang memang hanya kain yang menutupi kepala dan wajah, tapi kain itu menjadi simbol agama saat dikenakan dan kita nggak bisa pungkiri saat ada yang salah maka cadar dan jilbab yang akan dilihat lebih dulu.
Ini hanya pendapat saya saja ya, bisa jadi kurang tepat. 😊
Kadang saya suka iri saat ketemu atau sekedar ngobrol di wa dengan teman-teman zaman kuliah dulu, mereka masih istiqomah dengan jilbab besar yang sederhana, dengan cadar mereka yang sederhana juga, yang paling membuat saya iri adalah mereka sama sekali nggak suka populer, mereka memilih untuk menjadi manusia-manusia yang tersembunyi, Masyaallah. Pada mereka kain itu dalam wujud Takwa yang diperjuangkan. Dengan kain yang mereka kenakan, mereka terjaga.
----
Beberapa jam sebelum meninggalkan Madinah, saya kembali ke pojokan Masjid Nabawi yang biasa saya datangi dan ngambil beberapa foto dengan kamera ponsel buat kenang-kenangan. Trus tiba-tiba ada anak kecil yang nyambar handphone saya, Ya Alloh.. Kaget banget gue. Foto-foto di handphone saya massssa diapus, dikiranya saya ngambil gambar guru mereka. 😂😂😂😂
Ya udah saya pasrah aja 😂. Masyaallah. Memang harusnya demikian perempuan, menjaga diri, pun sekedar gambar dirinya.
:)
0 comments