Menulis, jalan tenar?
11:51:00 AM
Saya tenar? Pernah. Satu-satunya
sensasi yang pernah saya buat dan membuat saya tenar adalah membawa
baskom besar berisi jambu air, jika daun sirin sedang mekar, maka saya
membawa serta daun sirih yang sudah saya ikat rapi, baskom itu saya
letakan di atas kepala kemudian menjajakannya keliling kampung. Jadilah
saya tenar di kampung sebelah, sebut nama saya, orang-orang akan kompak
mengingat saya yang berkeliling menjual jambu. Tenar ini padahal hanya
di kampung sebelah saja tapi sudah merepotkan, Rahma, jambu dan penjual
jambu menyatu jadi satu,, teman-teman smp yang baru saya kenali
mengenal saya sebagai penjual jambu, termaksud dia yang menjadi
cem-ceman. Saya tengsin.. Haha.
Ketenaran saya begitu membuat gelisah, betapa beratnya jalan tenar yang harus saya tempuh, baskom besar itu sunggung membuat pening. :v
Ketenaran saya begitu membuat gelisah, betapa beratnya jalan tenar yang harus saya tempuh, baskom besar itu sunggung membuat pening. :v
Itulan jalan tenar yang pernah saya tempuh, sekarang? Ya ampyunnn gampangnya jadi orang tenar, tak perlu cantik seperti raisa atau dian sastro, tak perlu tampan seperti nikolas saputra, media sosial membuka kemungkinan tenar selapang-lapangnya, dan juga untuk saya yang mulai menempuh jalan tenar dengan menulis.
**********
Menulis yang dulu menjadi pelarian karena tak kunjung mendapatkan kerja selepas sarjana diam-diam menjadi jalan tenar, tenar dimana? Dihati beberapa orang yang mengirimkan pujian lewat komentar juga pesan pribadi (cuma beberapa orang saja). Ini baru di hati beberapa orang lalu bagaimana dengan mereka yang pansnyaa sampai jutaan? Kenyataannya saya mendapati perasaan norak saat dikenali dan dipuji menjadi begitu wow untuk orang yang jarang dipuji seperti saya, Jempol-jempol di media sosial jadi terasa madu dan ditunggu-tunggu. :D
Padahal... Padahal tulisan itu hanya kutip kiri-kanan tapi saat membaginya ke orang lain dan banyak yang suka rasanya begitu menyenangkan. Status dimedia sosial yang gonta-ganti, share sana-sini kemudian disukai orang lain kok rasanya jadi manis ya?
Ada yang salah kaka? Apa? Saat hadir tanya posisi saya ada dimana dari setiap apa yang saya tulis? Dari setiap hal yang saya bagikan?
Mulailah terjadi pergolakan bathinnn..
*Ah gak kok... Itu bukan riyaa.. Bisik si hati*
*Hati-hati, kamu mulai senang dengan pujian? Bisikan yang lain menimpali..*
*Yaelahhh.. Santi ajaa kali, cumaa berbagi kok, masa gitu aja riyaa?*
*Eh tapi saya senang dengen jempol dan komentar manis*
*Komentarnya di jadikan motivasi ajaa biar lebih semangat berbagi lagi...*
Mengalami pergolakan ini kembali mengingatkan saya pada ia yang samar, seperti semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di dalam gelapnya hutan di kegelapan malam. Ia Adalah riya. Maka berhati-hatilah wahai diri...
“Berapa banyak amal yang kecil menjadi besar nilainya karena niat. Dan berapa banyak amal besar menjadi kecil nilainya dikarenakan niat.” (Abdullah Ibnul Mubarak )
“Pelajarilah niat karena niat itu lebih menyampaikan (kepada Ridha Allah) dibandingkan amal” (Yahya bin Abi Abi Katsir- Ta'thiirul Anfaas, hal. 19)
2 Desember 2014
1 comments
balik lagi ke niat, dakwah yg bener2 lewat niat, gak peduli komentar pedas bahkan gak ada komentarpun. masalah ketenaran lenyap deh. jauh2... semoga. niatnya dakwah kak. Nulis ibadah :)
ReplyDeleteTokh terkdang saya suka mempelajari karakter penulis hingga ingin bs menulis bgtu, tergantung niat. setuju