Catatan seorang Anak

5:12:00 PM

Bapak saya adalah tipe ‘family man’ dengan Kepribadian hangat dan sangat mencintai keluarganya. Beliau Suka menanyakan kabar dan mengunjungi saudara-saudaranya. bapak sering bercerita, bercerita banyak hal, dari semua cerita bapak yang paling saya suka adalah cerita masa kecil bapak yang penuh perjuangan  dan sedih juga karena bapak tidak sempat mengenali wajah ibunya. Cerita bapak sebenarnya adalah cerita sedih, namun cara bapak bercerita benar-benar menertawakan nasib. pernah pada suatu pagi, setelah pulang lari-lari pagi, beliau menceritakan ,kisah semut yang beliau perhatikan dari kursi di teras rumah. Kisah semut yang tolong menolong mengangkat lalat. Saya terharu, laki -laki ini sungguh perhatian.

Beliau, di umur yang sekarang, saya tak sekalipun mendengar keluhan beliau tentang kehidupan yang lalu-lalu. Beliau tipikal lelaki yang setia, seperti setianya ia menunggui ku belajar mengendarai sepeda, tidak terbayang, bagaimana sabarnya beliau menuntunku saat baru belajar jalan. Mungkin bukan Cuma sabar yang harus beliau kerahkan, kekuatiran juga, bagaimana jika sewaktu-waktu saya terjatuh dan tidak ada yang membantuku bangkit..

Bapak, saya baru sadar bahwa kegemaran saya jalan-jalan pagi adalah warisan dari beliau. bapak memiliki kebiasaan-kebiasaan yang jika saya ingat-ingat lagi, saya akan semakin sadar bahwa cintaku pada bapak tidaklah seberapa dibandinkan cinta bapak kepada saya.

Beliau itu suka menunggu, menungguku saat pulang sekolah atau pulang main, saya sering tidak sadar telah menghadirkan kekuatiran yang menggunung di hati bapak saat terlambat pulang dan tak memberikan kabar, saya pernah mendapati beliau diam-diam memuji Tuhan saat saya tiba dirumah dalam keadaan baik-baik saja.

Bapak, Laki-laki yang sederhana dengan cara sederhana pula ia mengungkapkan cintanya. waktu kecil dulu, bapak sering menyisir rambutku dengan model yang sama, belah samping miring ke kanan, ini berulang terus menerus, masih model yang sama, seperti kasihnya kepada saya yang berulang, masih sama dan terus menerus.

Bapak, sangat menghargai kehidupan. Sedari dulu, beliau selalu mengatakan bahwa tangan di atas itu selalu lebih baik dari tangan di bawah. Ia menghargai kehidupan dengan bersungguh-sungguh menjalaninya. Saya sempat dibuat terharu saat beliau merapikan uang receh yang berserakan di lemari. Masih masalah uang, bapak selalu menekankan agar saya tidak boros, tidak membeli sesuatu yang tidak benar-benar saya butuhkan. Pernah sekali saat kami ke pasar sentral di Makassar, saat itu beliau seperti tertarik ingin membeli baju, tapi tak jadi membelinya, katanya tidak terlalu butuh, namun saat saya meminta uang untuk membeli tas, beliau tidak bertanya apa-apa langsung di berikannya saja, padahal bisa jadi itu adalah uang terakhir bapak, padahal bapak lebih butuh baju baru, baju yang beliau kenakan sudah sangat lusuh. lagi-lagi bapak lebih mendahulukan keinginan saya.

Waktu masih kecil-kecil dulu, bapak sangat mendukung karir perdagangan bebas yang saya tekuni, saat musim jambu datang, beliau akan memanjat jambu untukku, kemudia saya akan menjajakannya keliling kampung. saat musim pancing memancing datang, beliau akan sibuk menyiapkan pancingan beserta kailnya untukku. bapak juga selalu menyemangati saya untuk menaklukan hal-hal susah. dari seluruh penghuni rumah bapak lah satu-satunya yang mendukung saya untuk belajar mengendarai motor di usia muda. beliau Tak sekalipun tak menyambut harapanku. kami juga sering menghabiskan waktu bersama di kebun, bapak memanjat kelapa saya yang akan memungutya, bapak mencabut rumput saya yang kemudian mengumpulkannya, bapak membelah kayu saya yang mengikatnya.

Saya dan bapak sama-sama suka jalan-jalan, kami sering melewatkan waktu hanya berdua saja.  Jika musim tujuh belasan tiba, saya dan bapak akan membuat janji, jam berapa berangkat ke tanah lapang untuk Melihat pertunjukan, ada lagi cerita haru disini, jika lapangan terlalu ramai, bapak akan menggendongku di punggungnya, beliau rela tak melihat keramaian asal saya bisa melihat keramaian dan tersenyum.

Waktu masih kecil-kecil dulu, saat pagi datang, bapak akan mengajak saya ke warung kopi langganannya. sebelum ia menikmati kopi yang dihidangkan untuknya, bapak akan menuangkan pelan-pelan kopi ke piring agar saya tak merasakan panas. sedari awal perjuangan beliau yang berdarah-darah hanya agar saya tak merasakan getir yang telah ia rasakan diusia mudanya.

Kami pernah melakukan perjalanan, ini adalah bagian paling menggetarkan dalam kebersamaan kami. Saat itu kapal yang kami tumpangi telah penuh, saya dan bapak akhinya tidur di geladak kapal beratapkan langit langsung, maut mendekat saat bulan berpesta dengan pancarannya di langit luas. Saya ketakutan, bapak memeluk saya, tenang, ada bapak disini.

Waktu masih kecil-kecil dulu, saya dan bapak sering melewatkan hari-hari syahdu di tangga kapal, perpisahan menggetarkan yang terjadi berulang di tangga kapal, saat bapak meninggalkan kami sekeluarga dengan kesadaran penuh sebagai tulang punggung keluarga. Saya sering menangis memaksa ikut namun bapak  tampak kejam dengan langkah yang tak berpaling. Setelah dewasa ini, saya baru tahu,saat itu air mata beliau tak kalah deras, hanya saja bapak takut tak dapat melanjutkan langkah jika memalingkan badan.

Walau hampir separuh usia saya tak bersama beliau , tapi nyatanya , durasi kalah hebat dari cinta , justru karena lama tak bersama-sama maka lahir lah rindu yang mekar di waktu malam yang di warnai kekuatiran , adakah bapak sehat-sehat saja, atau rindu-rindu sederhana saat makanan di hidangkan , bapak akan bertanya pada ibu “ buyung  makan apa disana”.

Bapak  walaupun selalu nampak tegar, tapi saya tau bahwa diam–diam ia sering meneteskan airmata, doanya lebih keras dari siapapun untuk saya. Saat saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah di luar kampung . hari itu, rumah kami tampak kuyup oleh air mata. tapi ia memilih berdiri di ambang pintu, menatap jauh , bukan karena tak perdul , justru ialah yang berpikir lebih keras, lebih dalam, nak baik-baik disana.

Dulu, saya sering merasa bahwa bapak jarang-jarang merindukan saya, beliau kalau menelpon selalu ingin buru-buru di tutup, rupanya bukan karena tidak rindu, hanya saja, rindu telah menghisap kata yang hendak terburai, kemudian rindu itu di biarkan menjelma do'a untuk kebaikanku.

Tiga hari yang lalu tepat dua bulan waktu berlalu saat kami sama-sama menginjakan kaki di tanah suci. Perjalanan ini, saya baru tahu bahwa sebenarnya bapak tidak kuat melakukan perjalanan jauh tapi karena ingin menemani saya akhirnya beliau menguatkan diri. Selama di tanah suci, kami sering melewatkan waktu-waktu menggetarkan hanya berdua saja. Saya dengan setia mendorong beliau di kursi roda, kami berpegangan tangan sangat erat saat sama-sama berthawah keliling ka’bah. Kami sama-sama tersedu saat bermunajat  langsung di rumah Allah. 

Saat di madinah, saya diserang rasa bersalah yang sangat besar saat bapak tak kuat melanjutkan langkah untuk berziarah ke raudah, saya tahu kondisinya tidak baik, namun beliau tetap menyuruh saya berziarah ke raudah untuk mendoakan beliau,” pergilah doakan bapak. saya menangis disepanjang jalan. Betapa saya mencintai laki-laki ini.

Alhamudillah kami kembali ke tanah air dengan selamat dan lembaran baru benar-benar terbuka saat dokter memvonis bapak terkena kanker nasofaring. Saya tak bisa berkata-kata saat menunggu pemeriksaan demi pemeriksaan di lorong rumah sakit, saya tak bisa menyembunyikan kekuatiran saat darah mengalir deras dari mulut beliau namun beliau masih bisa tersenyum pada saya. Saya tak dapat menahan haru saat mendapati bahwa beliau tidak bisa bernapas menggunakan hidung, betapa tersiksannya. Saya tak dapat menahan air mata saat beliau meminta saya membukakan tutup botol, bapak bahkan tak bisa lagi membuka tutup botol. saya tak dapat  mengeja apa yang saya rasakan saat bapak memegang tangan saya usai pemeriksaan, beliau selalu mengatakan bahwa proses pemeriksaannya tidaklah sakit, saya tahu beliau berbohong agar saya tak kuatir. Keadaan-keadaan ini seperti sebuah mesin waktu yang memutar ulang  kebaikan-kebaikan beliau yang tidak terhitung untuk saya, menghadirkan kembali ruang-ruang yang telah jauh terlewati di mana hanya ada saya dan bapak. 

Saya sengaaja menuliskan ini  Agar kelak saat usia senja mendatangi orang tua kita, kita tak akan menyia-nyiakan mereka. Agar kesabaran kita  terjaga saat langkah mereka mulai melemah hingga kita bisa bersabar menunggu, menuntun atau memapah.  agar kita dapat setia saat mereka membutuhkan pengulangan dalam sapa. kita harus mengingat ini baik-baik sebab  mereka telah bersabar untuk kita hingga puluhan tahun sedang kita hanya di tuntut sedikit, tak lama, mereka hanya begitu di usia senjanya.

8 April 2013




You Might Also Like

15 comments

  1. Bapak yang hebat..

    Semoga Allah memberikan kesembuhan pada beliau..


    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin..

      terimakasih do'anya , terimakasih juga sudah sering main ke blog ku..

      Delete
  2. Syafahallah..
    Semoga Allah menyembuhkan bapak-nya Kak Rahmah

    Tulisan yang bagus kak, menyentuh sekali. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sekedar berbagi:

      Syafahallah..: Semoga Allah menyembuhkan dia (untuk perempuan)
      Syafahullahu.. : Semoga Allah menyembuhkan dia (untuk laki-laki)
      Syafakallahu..: Semoga Allah menyembuhkan kamu (untuk laki-laki)
      Syafakillahu..: Semoga Allah menyembuhkan kamu (untuk perempuan)

      Mungkin lebih tepatnya: Syafahullah.. bukan Syafahallah..
      Mohon dikoreksi jika ada yang salah..

      Delete
    2. Rifaah : terimakasih
      Belajar bahasa Arab : terimakasih, ilmu baru nih..

      Delete
  3. Semoga Allah memudahkan urusan Beliau, baik dunia maupun akhirat nanti, amin.

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete
  5. ingin mengangis, terharu...ingat ayah nun jauh di sana...
    salam kenal ya mb, semoga Allah memberikan kesembuhan pada Ayah...

    ReplyDelete
  6. Amin ya Rabb.
    makasih sob^-^
    ceritamu kembali mengingatkan dgn 2 orang yg sangat berjasa dalam hidup seorang anak. papama^_^
    semogah papamu lekaas sembuh.Amin ya Allah!

    ReplyDelete
  7. buyunk aer mataku keluar setelah membaca ceritamu! selama ini sy egois, tidak menyadari bagaimana beratnya kedua orang tua melepas anak perempuanx merantau jauh dari pengawasan mereka!
    sy masih belajar untuk mengekang keegoisanku! semogah d mudahkan.. Amin ya Rabb.

    ReplyDelete
  8. maaf tidak bisa berada didekatmu saat kau butuh bahu untuk bersandar dan telinga untuk mendengar keluh kesahmu...

    ReplyDelete

I'm Proud Member Of