Yang Sabar dan Bertahan
9:01:00 PM
Di Ambon musim hujan jatuh di bulan-bulan ini, kebiasaan suami saya, jika hujan jatuh di pagi hari, ia akan meminta plastik untuk tempat menyimpan sepatunya. Lalu ia akan berangkat ke tempat kerja memakai sendal jepit. Sepatu satu-satunya, jangan sampai basah, katanya.
Sepatu itu kami beli di lebaran dua tahun yang lalu saat THR keluar. Bentuknya sudah tidak lagi sama, kulitnya juga sudah terkelupas hampir separuh bagiannya tapi ia masih memilih untuk tidak membeli sepatu baru. Katanya lagi " Uang buat beli sepatu disimpan saja untuk Ruwaid.
Saya diam-diam terharu. Setelah memutuskan untuk resign dan ikut dengannya ke Ambon, saya merasa baru mulai mengenalnya dengan baik, tepatnya kami saling mengenal lagi. Di sini, kami memulai kehidupan baru di kontrakan dua petak di sudut kota Ambon, jauh dari hiruk pikuk.
Semua jadi serba baru untuk kami. Setiap awal bulan kami akan menyusun rencana anggaran belanja untuk satu bulan ke depan dengan berbagai pertimbangan, ia akan menyebutkan menu-menu sederhana untuk saya catat di menu makanan bulanan kami, di akhir pekan sesekali kami jalan-jalan ke pusat perbelanjaan melihat barang-barang yang ingin kami beli suatu hari nanti dari uang yang kami sisihkan setiap bulannya. Kehidupan kami sangat sederhana.
Lima atau enam tahun yang lalu, saya adalah orang yang begitu berambisi mengejar banyak hal. Cita-cita saya melambung jauh, saya menginginkan banyak hal. Tapi rupanya Allah membelokan garis hidup saya, saya dibawa jauh dari hiruk pikuk ambisi saya yang dulu, sekarang saya di sini dengan perjalanan terjauh sehari-hari hanya sampai pada tukang sayur.
Saya sempat berpikir apakah hidup saya akan begini-begini saja, memasak, mengurus anak, mencuci, menyetrika, menyapu, lalu tidur, esoknya akan seperti itu lagi. Saya sempat jenuh dan gampang sekali meledak-ledak di awal menjalani rutinitas yang seolah membunuh karakter saya pelan-pelan.
Ah ternyata, tidak sampai di sini, Allah kembali membelokkan lagi garis hidup yang saya jalani, mengajak saya berkenalan dengan orang-orang yang ambisinya sederhana, pengakuan dari orang lain bukan mimpi mereka. Meresepi cara mereka memandang hidup membuat saya berpikir lagi, apa yang saya cari? Kemudian hari-hari yang sempat membuat saya jenuh sedikit demi sedikit berubah, saya mulai jatuh cinta pada kehidupan saya yang baru.
Mengenali suami saya lebih dalam, melihatnya duduk mencuci piring di dapur sempit kami, mendengarkan caranya bertutur, mengingat ia yang sabar memandikan dan memakamkan anak pertama kami, membuat saya sadar bahwa saat memutuskan untuk resign, disitu ambisi saya sudah berbelok, saya ingin menjadi istri yang baik untuknya, menjadi ibu yang hangat untuk anak-anak kami, meski harus tertatih, walau harus jatuh bangun menata hati.
Saya yakin perjalanan kami tidak akan sampai di sini saja, di depan sana akan ada banyak belokan. Bulan lalu umur pernikahan kami barulah tiga tahun. Saya tahu untuk bisa bertahan, sabar adalah kuncinya. Bismillah :)
Semoga Pernikahan kami sakinah mawadan wa rahmah terus, Aamiin..
6 comments
amin, semoga langgeng dan bahagia selalu, bahagia itu sederhana, yg mempersulit itu manusianya
ReplyDeleteaamiin smg samara, kadang ambisi jg bole mb asalkan kita yakin sesuai dg kemampuan dan tanpa merugikan irg2 sekitar kita. aku sll percaya takdirNya berjalan adlh yg terbaik dan karenanya mensyukuri apa yg kita dptkan jauh lbh baik drpd merutuki apa yg jauh dr angan.
ReplyDeleteAamiin..semoga kita semua berbahagia dg pernikahan kita..
ReplyDeleteHidup perlu ambisi, perlu cita-cita..dengannya kita menjadi semakin bersemangat dan bersyukur..mungkin sekarang kita belokkan cita-cita, passion kita ke darah yang baru..Yang menjadikannya menyenangkan�� salam dari jauh...
Aamiin :)
ReplyDeleteAssalamualaikum, masih di Ambon kah?
ReplyDeleteWa'alaykumsalam.. Masih mba...
ReplyDelete