Gajah dan Lalat, pada suatu ketika...
6:00:00 PM
Sungguh saya sering terpukau pada
kata-kata yang diputar-putar walaupun banyak yang tidak saya mengerti.
Setidaknya saya paham rasa terpukau itu bukan hanya karena prestasi yang
wow, sesuatu yang menjengkelkan pun bisa menghadirkan rasa terpukau.
Ini boleh jadi menjadi salah satu sebab mencuatnya bakat berkomentar
dalam diri saya. Belum lagi adanya naluri alami merasa senang
dikomentari, maka jadilah bakat ini bersambut, bebas berkomentar, cuy..
hehe
Jumlah
hal yang bisa dikomentari di negri kita sudah amat banyak. Tapi hal
yang mendapat komentar positif, sungguh butuh didata, rasanya sedikit
saja. Komentar bisa melayang bebas kemana saja, dari kasus kenegaraan
hingga kasus 'kasih tak sampai' yang sedang naik daun. Presiden yang
menjadi orang nomor satu negeri ini pun bisa dikomentari pedas stadium
empat. Komentar yang yang bebas ini dibanyak sisi ada bagusnya juga,
setidaknya mengurangi kadar sensitif, iya, orang sensitif alias pemarah
bisa mati berdiri jika tak tahan dikomentari di zaman sekarang ini. Sisi
tidak baiknya, karena banyak berkomentar akhirnya kita lupa diri,
apa-apa dikomentari sedang diri sendiri dilupakan karena terlalu sibuk
mengurusi kasus di luar diri sendiri.
Kesadaran
ini untuk saya yang suka berkomentar sungguh tidak menentramkan.
Semakin banyak berkomentar, semakin jelas aib sendiri terpampang, mulut
belum kering berkomentar, tahu-tahu saat berkaca aib serupa ada di diri
sendiri, namun tidak kunjung sadar juga. Maka akan sangat susah memahami
lawan bicara yang terus saja berkomentar padahal sudah gilirannya untuk
diam menyimak komentar pihak lain, sangat susah menerima orang yang
pintar berkomentar tapi tidak rajin berkaca.
Ini
baru sedikit kasus, kalau bergeser sedikit ke media sosial. Maka akan
kita dapati komentar yang berwara-wiri bebas. Kolom komentarpun terbuka
lebar, komentari aku maka senang hatiku, begitu kira-kira kalimat yang
melambai saat kita-kita ini mengupdate status. Untuk yang kuper seperti
saya ini bisa jadi komentarnya hanya pada kasus-kasus ringan saja
semisal kasus obat pemutih wajah yang berhasil membuat wajah
loreng-loreng. Lain cerita untuk mereka yang daya tangkap dan daya
ucapnya canggih, maka jadilah media sosial tempat lempar-lemparan
komentar, kasus-kasus yang ramai jangan harap bisa selamat dari
komentar, dari lempar-lemparan komentar naik kelas menjadi debat
panjang bercampur lebar. Hujat menghujat merasa paling benar jarang bisa
dielakan kalau sudah masuk ranah-ranah debat. Aib terbuka begitu saja.
Janji Rasulullah untuk mereka yang sanggup meninggalkan debat walaupun
berada dipihak yang benar sudah tidak mempan lagi.
Sungguh
komentar-komentar di media sosial membuat saya terpukau. Saya terpukau
saja pada kemampuan melihat, koq gajah dipelupuk tak terlihat ya
padahal lalat yang nongkrong diseberang lautan bisa teramati jelas.
Saya sering ngeri sendiri saat membayangkan buku catatan amalan itu, tak
ada
yang terluput barang setitik dari tiap tingkah, ucap dan laku kita,
sayang takutnya keseringan hanya sebentar. Ketakutan ini walaupun belum
istiqomah adalah obat paling manjur yang saya rasa sampai saat ini jika
hendak berkomentar macam-macam.
Sumber gambar: gajah
7 Januari 2014
2 comments
Kalau kata pak JOKOWI, tampilkanlah yang baibaik saja dan terus menerus maka yang akan muncul rasa optimisme bukan pesimisme. hehehe, salam kenal !!!
ReplyDeleteWara' tertinggi adalah meninggalkan yang halal karena takut tidak bermanfaat. Wara' terendah adalah meninggalkan perbuatan haram. Saya lupa namanya, seorang ulama pernah diminta berjalan sedikit oleh istrinya agar obatnya cepar bereaksi. Tapi sang ulama tetap tak beranjak. Ia khawatir jangan sampai jalan-jalannya itu tidak ada manfaatnya.
ReplyDelete