Saya kaget sekali ketika mendapati
pesan seorang teman yang mengadukan masalah hatinya. Kekagetan saya ini lebih
pada ketidaksiapan saya untuk memberikan masukan. Saya berusaha sebisa mungkin memahami apa yang ada dalam
hatinya. Sejauh ini memahami hati orang lain masuk dalam kategori hal yang
susah. Lebih dalam lagi, hati hanya benar-benar bisa dipahami oleh pemiliknya.
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Ia menuturkan kegamangannya untuk
terus-terus istiqomah dalam kebaikan. Jadilah saya menggalau. Pengakuan teman
saya ini sungguh hebat, jarang yang bisa terang-terangan seperti ini, jarang
juga yang menyadari kalau-kalau hati yang dulu sudah berpayah untuk
istiqomah telah usang.
Lumayan
lama baru saya memberikan
respon, saya merenung cukup lama, untung tidak sampai mati. Saya merasa
tidak pantas memberikan nasehat padanya. Saya bukanlah orang yang
keistiqomahannya bisa dijadikan suri tauladan, dari sisi keilmuan, ia
melampauiku jauh sekali, dari sisi pemahaman, pemahamannya pada agama
ini
sangatlah mendalam, bahkan jika ada alat pendeteksi kekacauan hati, saya
yakin
hati saya ini akan kena razia karena kekacauan yang ada dalamnya.
Ia melanjutkan cerita, katanya lagi,
“Ma saya ingin tetap aktif berdakwah”
Membaca pesan ini, entah mengapa hati
saya seperti ribut padahal tidak ada badai di sana.
Saya bingung tingkat dewa, nasehat apa
yang harus saya berikan. Dakwah untuk saya juga sudah sangat asing, menyebutnya pun saya segan. Saya
berpikir keras sebelum akhirnya saya membalas pesan yang ia kirimkan.
“Istiqomah itu pilihan, saat kita
memilih untuk istiqomah maka kita juga harus sadar dengan segala konsekuesi
yang ada di dalamnya, baik itu saat bersendirian ataupun rame-rame”
"Dakwah itu banyak jenisnya, kalau
belum bisa berdakwah seperti yang kita inginkan, yah paling minimal berdakwah
pada diri sendiri saja dulu.
Jujur, saya terpaksa mengirimkan pesan ini, masih itu tadi, saya merasa tidak pantas memberikan nasehat padanya.
Harusnya juga, saya bisa memberikan nasehat yang lebih dalam, tapi saya tidak
punya stok kata-kata yang bagus berkenaan dengan istiqomah. Barulah hari ini,
saya bisa membuat sedikit catatan berupa tips-tips agar bisa istiqomah. Ehm..
tenang saja, tips ini bukan dari saya scara saya masih sering lalai
begini. Tipsnya saya ambil dari beberapa artikel kemudian saya ceritakan ulang
dengan versi saya. Untuk saya dan kamu, Istiqomahlah sampai mati!!
Istiqomah, Kata ini sangat terkenal di
kalangan kita, banyak juga teman-teman kita yang memakai kata ini sebagai nama. Bukan tanpa
alasan, istiqamah adalah harapan setiap orang. Istiqamah umpama komitmen untuk
tetap hidup lurus, tidak meneloh ke kanan maupun ke kiri. Berat kan?, kita ini gampang
penasaran, mana sanggup untuk tidak melirik-lirik. Karena ‘berat’ nya
ini, Allah memberikan Janji untuk mereka yang bisa beristiqomah dalam agama
ini.
“Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian
mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah
kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu
dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.”
(QS. Fushilat: 30)
Dalam perjalanan istiqomah pasti ada kekurangan didalamnya, kesadaran ini harus kita pahami betul agar idealisme
kita dalam beristiqomah tidak membuat kita gila. Maksudnya begini,
sembari berusaha untuk bersitiqmah, kita juga harus sadar kalau kita ini tak
luput dari kesalahan. Nah, jika salah maka jangan lupa bangkit lagi. Maafkan
diri kita dan bersegeralah memohon ampun pada Allah.
“Katakanlah: “Bahwasanya aku
hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabbmu
adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan yan lurus menuju
kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.”
(QS. Fushilat: 6).
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan,
“Ayat di atas “Istiqomahlah dan mintalah ampun kepada-Nya” merupakan isyarat
bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan. Yang
menutupi kekurangan ini adalah istighfar (memohon ampunan Allah).
Kiat Agar Tetap Istiqomah
Pertama:
Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar.
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Pemahan sederhana dari urusan ini
adalah kita yakin bahwa Hanya Allah yang berhak disembah. Keyakinan ini akan
menafikan sesembahan yang lain. Intinya, hanya Allah yang bisa. Bisa apa saja
melampaui sekat-sekat pemikiran kita yang keseringan buntu.
Kedua: Mengkaji Al Qur’an
dengan menghayati dan merenungkannya.
Allah menceritakan bahwa Al Qur’an
dapat meneguhkan hati orang-orang beriman dan Al Qur’an adalah petunjuk kepada
jalan yang lurus.
“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril)
menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati)
orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. An Nahl: 102)
Kita ini, ayo kita tanya diri kita,
sudah sejauh apa usaha kita untuk menghayati Ayat-ayat Al-Qur’an.
Ketiga:
Iltizam (konsekuen) dalam menjalankan syari’at Allah
“Amalan yang paling dicintai
oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.”
An Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan,
itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan.
Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan
ketaatan, dzikir,
pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan
membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala.
Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar
dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja
dilakukan.
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan,
“Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah amalan
yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan
meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal
ini pada sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar.
Selain amalan yang kontinu dicintai
oleh Allah, amalan tersebut juga dapat mencegah masuknya virus “futur” (jenuh
untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan
muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun
ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk
beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang
penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.
Keempat:
Membaca kisah-kisah orang sholih sehingga bisa dijadikan uswah (teladan) dalam
istiqomah.
Kisah-kisah orang terdahulu sungguh
akan membuat kita banyak malu.Sebutlah kisah perjuangan Rasulullah, atau kisah
para shahabat untuk memperjuangkan agama ini sungguh tak main-main,
perjuangan mereka bukan hanya sekedar berpeluh, bahkan sampai harus
berdarah-darah. Cukuplah kisah keluarga yasir membuat kita menundukan kepaala,
atau jika belum cukup, maka kita harus merenungi lebih dalam lagi apa yang
telah dikorbankan mush’ab bin umair untuk tetap istiqomah dalam agama ini. Kita
dengan berbagai kemudahan untuk mempelajari agama ini justru banyak lalai,
orang tua tak menghalangi, keadaan juga mendukung, lalu kapan lagi hati kita
ini akan tunduk? :’(
Kelima:
Memperbanyak do’a pada Allah agar diberi keistiqomahan.
Di bagian ini, saya ingin mengajak diri
saya dan kamu, mari perbaiki mutu do’a kita. Di luar sana, sudah terlalu banyak
training tentang bagaimana harus bermualah dengan sesama manusia, sedang kepada
Rabb kita, kita mengalahkan teman yang tidak tahu diri. Hanya datang saat ada
maunya saja. Hal ini harus kita pahami betul sebelum kita banyak meminta. Kita
harus tahu bahwa do’a adalah bentuk pengagungan kita pada Allah, dan pengakuan
bahwa hanya kepada Allah kita meminta.
Temanku, hati kita ini terlalu gampang
terbolak-balik. Kita harus lebih banyak memohon agar hati kita ditetapkan
dalam ketaatan. Penghrapan ini tak main-main, sebab Rasulullah yang
taatnya luar biasapun masih senantiasa melantunkan do’a ini. Apalagi
kita.
Keenam:
Bergaul dengan orang-orang sholih.
Saya ini bukan orang sholeh, tapi
tolong jangan jauh-jauh dari saya.
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan
orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan bertemandengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau
tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal
dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati
badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak
enak.”
Semoga kita seperti bisa seperti Umar
dan Iyasy dalam bersahabat, sahabat yang menginginkan kebaikan untuk
shahabatnya. Dikisahkan, bahwa Umar bin Khattab sahabat baik Iyasy, ia tidak
bosan dan tidak hilang usaha untuk menyelamatkan sahabatnya dari kembali
mungkar.
Setelah keduanya hijrah dari Mekkah,
diutuslah seseorang kepada Iyasy, “Ibumu akan meninggal dunia! Ia tidak akan
masuk rumah dan tidak akan mandi. Ia akan terus berterik matahari sampai kau
kembali padanya.”
Iyasy yang sangat sayang dengan ibunya
langsung terenyuh, tapi Umar meneguhkannya dengan unik, “Apa yang kau
khawatirkan? Esok atau lusa pasti ia tidak suka dengan kotoran dan kutu yang
menempel di tubuhnya, maka ia akan mandi. Esok atau lusa pun ia akan merasa
penat di bawah terik, maka ia akan menuju naungan.”
Tapi Iyasy masih masih tetap pada
keputusannya, maka dengan tegas Umar berkata lagi, “Jangan pulang, Iyasy! Jika
kau pulang, kau akan berpaling dari Islam.”
Tapi bagaimana pun Umar berargumen,
Iyasy tetap ingin pulang. Maka kembali Umar berkata, “Iyasy, ini untaku.
Mudah-mudahan ia bisa mengingatkanmu sehingga bisa kembali lagi suatu hari
nanti.”
Maka pulanglah Iyasy ke keluarganya.
Dan benarlah. Ia disiksa oleh keluarganya. Dipaksa ingkar. Dan nyaris saja!
Nyaris saja ia berpaling dari Islam. Tapi unta Umar menjadi kenangan dan
pengingat baginya.
Tidak ada maksud untuk menyamakan diri
dengan dua shahabat mulia ini, siapalah saya ini. tapi, semoga tulisan ini bisa
menjadi pengingat saat kita kembali ‘lesu’. Terakhir, keistiqmahan itu harus
dipaksakan, butuh banyak jerih payah. Bukan karena tidak ikhlas tapi
kecenderungan hati kita ini suka bermalas-malasan. Keep Istiqomah Till the
end.
Selamat menantikan Ramadhan ya,
Ramadhan adalah momen yang baik untuk melatih seberapa tangguh keistiqmahan
sebelum berkiprah mengarungi pahit manis kehidupan di sebelas bulan
setelahnya..hehe.Lebay ya. Cinta kadang-kadang harus lebay..
Allahumma balighna Ramadhan..
Sumber bacaan: Muslim.or.id
Sumber bacaan: Muslim.or.id
21 Sya’ban 1434 H
Catatan saya hingga
hari ini adalah hasil dari pemikiran-pemikiran sederhana yang kebanyakan muncul
tanpa terencana. Sampai hari ini, detik ini, saya menyadari bahwa keberadaan
saya di ruangan tempat saya membuat catatan ini pun tak pernah terencana
sebelumnya. Keadaan-keadaan ini membuat saya berpikir kalau-kalau kehidupan saya
yang ada sekarang ini bukanlah hasil dari rencana saya, target yang saya tulis
di tengah malam buta setiap tanggal 21 juni nyatanya kebanyakan hanya menjadi
tulisan berulang, rasanya percuma saja membuat banyak rencana jika tak
diupayakan baik-baik. tanpa rencana dan upaya yang yang baik, pergatian umur
hanya momen ganti angka dan tambah tua. Sejauh ini, saya masih menikmati
kejutan-kejutan yang banyak ditawarkan kehidupan, tak terencana, tapi kehidupan menyediakan setiap yang saya butuhkan dengan sangat rapi. Hiduplah dengan baik Rahma.
*****
Salah satu dari banyak
pelajaran yang saya dapatkan dari puasa adalah momen menahan. Menahan kemudian
menjadi peristiwa pertarungan, dan setelahnya tahulah saya bahwa lawan terberat itu tak lain yah saya, diri sendiri. Saya merasakan
kalau hati benar-benar mengambil posisi raja dalam diri saya, jika kondisi hati
sedang baik-baik, maka yang lain juga membaik, amalan pun digiatkan dengan
segenap upaya, maka benarlah sabda Nabi tentang segumpal daging yang mengambil
andil besar dalam diri kita. Ramadhan nanti, ada banyak rencana perubahan, Move
on, hijrah atau apalah istilahnya, intinya berubah ke arah yang lebih baik.
*****
Menjelang Ramadhan ini,
kantor pos sedang ramai-ramainya, tapi bukan untuk mengirim atau menerima
paket. Antrian BLSM menjelma neraka-neraka dunia dalam kelas yang agak kecil.
Betapa pemerintah layak disebut tidak berperasaan. Pejabat dengan fasilitas
serba wah kenapa tak pernah rela
dikurangi jatahnya untuk kesejahteraan rakyat yang mereka wakilkan suaranya.
Saya tidak sedang membenci pemerintah, saya juga masih yakin bahwa Tuhan
mengatur rezki-rezki kita, namun, tidak kah mereka yang dititipi amanah itu
merasa ketakutan akan amanah yang mereka emban, jika tak takut, paling tidak kasihanlah.
*****
Beberapa pekan yang
lalu, saya pulang kampung. Pulang kampung yang serba dadakan, dadakan yang
akhirnya mengundang banyak lupa. Saya lupa kalau uang di dompet bahkan tak
cukup untuk membayar uang Damri. Buru-buru memang kurang baik. Bapak saya yang sakit menjadi alasan
kepulangan saya kali ini. Pulang kampung yang kemarin itu adalah momen paling
menggetarkan dalam sejarah hidup saya sebagai seorang anak, banyak
obrolan-obrolan yang membuat saya ingin menceburkan diri ke laut agar air mata
yang jatuh tak diketahui siapa-siapa. Beberapa hari sebelum kembali ke ibu
kota, pembicaraan saya dan bapak ada di sekitaran kematian, Jadilah saya
menggalau, bapak bertanya ke saya, “ Kalau sudah meninggal nanti, apakah kita
masih bisa bertemu lagi?” Saya menjawab dengan hati gerimis “ ingat saya ya
pak, saya akan terus mengingat bapak ”
Alangkah singkatnya suatu hubungan jika hanya
di kehidupan dunia saja. Akhir ramadhan nanti, insyaallah saya akan pulang lagi
menjenguk bapak.
*****
Ramadhan
tinggal menghitung hari, saya tidak tahu pasti apa yang telah saya siapkan, tapi
saya benar-benar mengharapkan kehadirannya.
Pict from carmssr
Pict from carmssr
18 Sya’ban
1434 H
Bismillah. Tahu
tidak, bahwa ternyata kenangan dapat meresonansi ingatan, pembahasan kali
ini membawa ingatan saya berlari ke malam-malam ramadhan beberapa tahun
yang lalu. Masih ingat kan serial meteor garden yang dulu sempat naik
daun, dulu itu penayangannya berpapasan dengan waktu sholat tarawih. Tayangan
ini kemudian menjadi ujian untuk orang yang lemah imannya seperti saya
ini. Entah ilmu dari mana, pada masa-masa itu tersiar kabar kalau malam
lailatul qadar ada di malam ke tujuh belas, jadilah saya galau, pada malam ke
tujuh belas ramadhan, meteor garden sedang panas-panasnya karena tao ming she
mendadak hilang ingatan. hehe. Gilak.
Pembahasan Lailatul
Qadar rasa-rasanya sudah sangat banyak, setiap tahun juga menjadi agenda rutin
para penceramah. Mengenai ceramah yang berulang-ulang, inilah agama kita, agama
adalah nasehat jadi tak perlu bosan. Kita ini diingatkan berulang-ulang saja
masih sering lupa, apalagi hanya sekali setahun. Sholat yang dipanggil pakai toa
sampai lima kali sehari pun masih saja dilalaikan, bagaimana jadinya kalau
Cuma dipanggil sekali sehari untuk melaksanakan sholat lima waktu. Anggap saja
Catatan lailatul qadar kali ini sebagai ajang merefresh ingatan kita, biar
lebih semangat lagi menyambut malam yang lain dari malam-malam lainnya ‘Bukan
malam biasa’. Cekidot :)
"Sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah
yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh
hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang
mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu, sungguh Dia Maha mendengar ,
Maha mengetahui. Rabb yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduannya, jika kamu orang-orang yang meyakini. Tidak ada yang berhak
diibadahi melainkan, Yang menghidupkan dan mematikan. (Dialah) Rabbmu dan Rabb
bapak-bapakmu yang terdahulu"
(QS. Ad-Dukhan:
3-8)
Keutamaan Lailatul Qadar..
1. Lailatul Qadar adalah waktu
diturunkannya Al Qur’an
Malam Lailatul Qadar
dengan kelebihanannya yang jauh melambung melampaui malam selainnya
adalah suatu malam yang dimuliakan oleh Allah melebihi malam-malam yang
lain, Allah memberikan nikmat kepada kita dengan keutamaan dan kebaikan malam
tersebut. Allah menyifati Lailatul Qadar dengan malam yang penuh berkah karena
banyaknya kebaikan, keberkahan, dan keutamaannya.
Ibnu ‘Abbas dan selainnya mengatakan,
“Allah menurunkan Al Qur’an secara utuh sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul
‘Izzah yang ada di langit dunia. Kemudian Allah menurunkan Al Qur’an kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam-tersebut secara terpisah sesuai dengan
kejadian-kejadian yang terjadi selama 23 tahun.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim
14: 403).
2. Lailatul Qadar lebih baik dari 1000 bulan
“Malam kemuliaan itu lebih baik
dari seribu bulan.” (QS. Al Qadar: 3).
An Nakha’i mengatakan, “Amalan di
lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.” Mujahid, Qotadah dan
ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu
bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa
di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar.
3. Lailatul Qadar adalah malam yang
penuh keberkahan
“Sesungguhnya Kami menurunkannya
pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi
peringatan.” (QS. Ad Dukhon: 3).
4. Malaikat turun pada Lailatul
Qadar
“Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan malaikat Jibril” (QS. Al Qadar: 4)
Banyak malaikat yang akan turun pada
Lailatul Qadar karena banyaknya barokah (berkah) pada malam tersebut. Karena
sekali lagi, turunnya malaikat menandakan turunnya berkah dan rahmat.
Sebagaimana malaikat turun ketika ada yang membacakan Al Qur’an, mereka akan
mengitari orang-orang yang berada dalam majelis dzikir
-yaitu majelis ilmu-. Dan malaikat akan meletakkan sayap-sayap mereka pada
penuntut ilmu karena malaikat sangat mengagungkan mereka. Malaikat Jibril
disebut “Ar Ruuh” dan dispesialkan dalam ayat karena menunjukkan kemuliaan
(keutamaan) malaikat tersebut.
5. Lailatul Qadar disifati dengan
‘salaam’
“Malam itu (penuh)
kesejahteraan sampai terbit fajar” (QS. Al Qadr: 5)
yaitu malam tersebut penuh keselamatan
di mana setan tidak dapat berbuat apa-apa di malam tersebut baik berbuat jelek
atau mengganggu yang lain, demikianlah kata Mujahid. Juga dapat berarti bahwa
malam tersebut, banyak yang selamat dari hukuman dan siksa karena mereka
melakukan ketaatan pada Allah (pada malam tersebut). Sungguh hal ini
menunjukkan keutamaan luar biasa dari Lailatul Qadar.
6. Lailatul Qadar adalah malam
dicatatnya takdir tahunan
“Pada malam itu dijelaskan segala
urusan yang penuh hikmah” (QS. Ad Dukhan: 4).
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya
menerangkan bahwa pada Lailatul Qadar akan dirinci di Lauhul Mahfuzh mengenai
penulisan takdir dalam setahun, juga akan dicatat ajal dan rizki. Dan juga akan
dicatat segala sesuatu hingga akhir dalam setahun. Demikian diriwayatkan dari
Ibnu ‘Umar, Abu Malik, Mujahid, Adh Dhahhak dan ulama salaf lainnya.
Namun perlu dicatat sebagaimana
keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim bahwa
catatan takdir tahunan tersebut tentu saja didahului oleh ilmu
dan penulisan Allah. Takdir ini nantinya akan ditampakkan pada malikat dan ia
akan mengetahui yang akan terjadi, lalu ia akan melakukan tugas yang
diperintahkan untuknya.
7. Diampuninya dosa-dosa yang telah
lalu
“Barangsiapa melaksanakan shalat
pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah,
maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari )
Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan bahwa
yang dimaksud ‘iimaanan’ (karena iman) adalah membenarkan janji Allah yaitu pahala
yang diberikan (bagi orang yang menghidupkan malam tersebut). Sedangkan
‘ihtisaaban’ bermakna mengharap pahala (dari sisi Allah), bukan karena
mengharap lainnya yaitu contohnya berbuat riya’. (Fathul Bari 4: 251)
Kapan Lailatul Qadar?
Dari Abu Dzar
Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku tentan
Lailatul Qadar, apakah ia terjadi pada bulan Ramadhan atau pada bulan yang
lain” Beliau menjawa: “Ia terjadi pada bulan Ramadhan.” Abu Dzar bertanya
kembali: Apakah ia hanya terjadi seiring adanya Nabi, kapan pun mereka,
sehingga jika mereka wafat, maka Lailatul Qadar juga akan hilang, ataukan ia
akan tetap ada sampai hari kiamat?” beliau menjawab” : ia akan tetap ada sampai
hari kiamat”
(HR.Al-Hakim)
Lailatul Qadar terjadi pada sepuluh
malam terakhir bulan ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa
sallam.
“Carilah Lailatul
Qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan ramadhan” (HR. Bukhari dan
Muslim)
“Carilah
Lailatul Qadar pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan
ramadhan” (HR.Bukhari)
“Aku melihat bahwa
mimpi-mimpi kalian telah bersesuaian pada malam tujuh terakhir bulan ramadhan.
Barang siapa yang ingin mencari lailatul qadar maka hendaklah ia mencarinya
pada tujuh malam terakhir tersebut” (Muttafaq ‘alaih)
“Demi Allah, aku
benar-benar mengetahui malam saat kita diperintahkan untuk melaksanakan shalat
di dalamnya. Malam itu adalah malam ke dua puluh tujuh” (HR. Muslim)
“Carilah Lailatul
Qadar pada Sembilan, tujuh, dan lima malam tersisa” (HR. Al Bukhari)
Ibnu Hajar dalam
Fathul baari menyatakan: “Pendapat yang paling kuat adalah lailatul Qadar terjadi
pada malam ganjil dari sepuluh terakhir, namun waktunya berpindah-pindah dari
tahun ke tahun”
Hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan
tentang terjadinya malam lailatul qadar di antaranya adalah agar terbedakan
antara orang yang sungguh-sungguh untuk mencari malam tersebut dengan orang
yang malas. Karena orang yang benar-benar ingin mendapatkan sesuatu tentu akan
bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Hal ini juga sebagai rahmat Allah agar
hamba memperbanyak amalan pada hari-hari tersebut dengan demikian mereka akan
semakin bertambah dekat dengan-Nya dan akan memperoleh pahala yang amat banyak.
Semoga Allah memudahkan kita memperoleh malam yang penuh keberkahan ini.
Tanda Malam Lailatul Qadar..
- Udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan periwayatnya adalah tsiqoh /terpercaya)
- Malaikat menurunkan ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah, yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.
- Manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.
- Matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Abi bin Ka’ab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Shubuh hari dari malam lailatul qadar matahari terbit tanpa sinar, seolah-olah mirip bejana hingga matahari itu naik.” (HR. Muslim)
Salam Spirit Ramadhan, Berilmu sebelum
beramal.
17 Sya’ban 1434 H
Sumber bacaan :
Majelis bulan Ramadhan karya Syaikh
Muhammad Shalih Al Utsaimin
Bismillah. Ini malam selasa yang normal. Kemarin malam, ada yang tidak biasa dengan masjid di dekat rumah. Mendadak ramai. Teman saya yang tidak tahu-menahu tentang malam nisfu sya'ban mengirimkan sms pertanyaan kapan satu ramadhan. Saya menjawab, "Ramadhan masih bulan depan". Intinya, dia kaget hingga bepikir ramadhan telah dimulai karena biasanya selepas isya masjid kembali merana.
Ehm.. Apa kabar teman-teman, semoga kita bukan yang termaksud merayakan malam nisfu sya'ban yang kemarin ramai. Sangat disayangkan, perayaan yang ramai itu tidaklah didukung dalil yang kuat, padahal ibadah yang berkaitan dengan waktu tertentu membutuhkan dalil pendukung hingga amalan ibadah tersebut terhitung sah.
Ehm.. Apa kabar teman-teman, semoga kita bukan yang termaksud merayakan malam nisfu sya'ban yang kemarin ramai. Sangat disayangkan, perayaan yang ramai itu tidaklah didukung dalil yang kuat, padahal ibadah yang berkaitan dengan waktu tertentu membutuhkan dalil pendukung hingga amalan ibadah tersebut terhitung sah.
Sudah lama saya memperhatikan momen ramai seperti ini, sudah lama juga saya bertanya-tanya kemana para tetamu masjid itu hilang setelah momen berlalu. Bukan rahasia lagi, bagaimana masjid harus berpayah-payah menampung jamaah di awal ramadhan, namun disayangkan, jamaah yang ramai itu hilang gairahnya sebelum ramadhan usai.
Malam ini, saya merenungkan momen ini lebih dalam. Ada beberapa beberapa yang terpikir, mungkin momen memang durasinya tak lama. Sebentar lalu hilang. Ramai lalu senyap. Terkenal lalu dilupakan. Saya membawa perenungan ini lebih dalam lagi, kemudian saya mendapati kenyataan kalau-kalau hati saya ini harus di renovasi. Dalam konteks yang agak berat, perayaan momen yang tidak berkelanjutan artinya sama saja dengan tidak istiqomah, semangat yang layu sebelum berkembang. Saya sering menjadi peserta momen-momen yang tidak berkelanjutan itu.
Sederhana tapi berkelanjutan jelas lebih baik. Barangkali ini juga menjadi hikmah mengapa nabi kita mengatakan kalau amalan yang sedikit namun berkesinambungan itu lebih baik ketimbang banyak lalu kapok. Sederhananya, amalan yang sedikit dan berkesinambungan seperti melatih perangkat dalam diri kita untuk melakukan banyak kebaikan. Singkat kata, Beramal baik secara terus menerus karena tidak ada yang tahu akhir dari penghidupan ini
Catatan kali ini masih lanjutan dari catatan seri ramadhan. Alhamdulillah kita sudah sampai dipembahasan yang berkenaan dengan penghujung ramadhan. Keutamaan penghujung ramadhan laksana janji yang tak pernah benar-benar dihayati oleh sebagian dari kita. Seperti sudah diatur saja, jika ramadhan telah mendekati ujung-ujungnya maka berbagai kesibukanpun menampakan diri, kue kering yang sebenarnya bisa dibeli dengan mudah di supermarket mampu menyita malam-malam kita. Rencana pulang kampung membawa kegalauan tersendiri, belum lagi pencarian baju lebaran yang membuat orang sanggup berthawah keliling mall..hehe.
Sebenarnya, kejadian-kejadian ini adalah ujian jika dipikirkan. Pada bagian ini, kita akan mendapati bahwa janji yang ditawarkan ramadhan berkaitan erat dengan jerih payah kita, sepayah apa usaha kita untuk tetap menghayati ramadhan hingga akhir, seistiqomah apa kita dalam amalan-amalan kita. Jadi, ujian dipenghujung ramadhan itu adalah sesuatu yang wajar, yang jadi soal jangan sampai kita tak lolos ujian.
Sebenarnya, kejadian-kejadian ini adalah ujian jika dipikirkan. Pada bagian ini, kita akan mendapati bahwa janji yang ditawarkan ramadhan berkaitan erat dengan jerih payah kita, sepayah apa usaha kita untuk tetap menghayati ramadhan hingga akhir, seistiqomah apa kita dalam amalan-amalan kita. Jadi, ujian dipenghujung ramadhan itu adalah sesuatu yang wajar, yang jadi soal jangan sampai kita tak lolos ujian.
Fokus hingga ramadhan usai bukanlah perkara mudah, hal ini kita sepakati bersama saja dengan banyak ujian di dalamnya. Begini, saya mau bilang kalau setan mungkin berusaha melalaikan kita agar terluput dari keutamaan akhir ramadhan. Kasihan juga setan, selalu jadi kambing hitam dan menggoda kita-kita ini. hehe.
Kekhususan akhir ramadhan ditandai dengan kabar bahwa malam yang lebih baik dari seribu bulan ada di malam-malamnya. Kekhususan ini diperkuat oleh banyaknya riwayat yang menceritakan bagaiamana kesungguhan Nabi kita menghidupkan waktu-waktu di sepertiga akhir ramadhan dengan berbagai amalan kebaikan.
Kekhususan akhir ramadhan ditandai dengan kabar bahwa malam yang lebih baik dari seribu bulan ada di malam-malamnya. Kekhususan ini diperkuat oleh banyaknya riwayat yang menceritakan bagaiamana kesungguhan Nabi kita menghidupkan waktu-waktu di sepertiga akhir ramadhan dengan berbagai amalan kebaikan.
"Bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wa salam bersungguh-sungguh pada sepertiga akhir ramadhan, melebihi kesungguhannya pada waktu yang lain.
Hadits ini menjadi dalil yang menunjukan keutamaan sepertiga akhir ramadhan. Nabi dahulu beramal dengan sungguh-sungguh di waktu-waktu ini lebih daripada waktu lainnya. Ini mencakup kesungguhan beliau dalam segala jenis ibadah, baik shalat, membaca al-Qur'an, dzikir, sedekah ataupun selainnya. eh padahal Nabi kan memang selalu serius beramal ya, riwayat yang menceritakan kalau beliau sholat sampai kaki beliau bengkak bukan pada bulan Ramadhan. Tidak terbayangkan serupa kesungguhan beliau, jika pada hari biasa saja sholat sampai bengkak kaki.
"Jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam memasuki sepertiga akhir ramadhan, beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya"
Perkara ini juga yang menunjukan keutamaan sepertiga akhir ramadhan adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam membangunkan keluarganya untuk melakukan dzikir dan sholat pada waktu-waktu ini.
"Nabi shallallahu alaihi wa sallam mencampur antara shalat dan tidur selama dua puluh hari pertama bulan ramadhan. ketika memasuki sepertiga akhir bulan ramdhan, beliau mengsingkan lengan bajunya dan mengencangkan sarungnya"
Hadits ini merupakan salah satu bukti kemuliaan malam-malam di sepertiga akhir ramadhan, sampai-sampai Rasulullah mengencangkan sarungnya( menjauhi istri-istrinya dari berjima'). hal ini disebabkan kemulian dan usaha mencari amalan-amalan di malam lailatur Qadr.
Kekhususan lain sepertiga akhir Ramadhan adalah Nabi shallalu alaihi wa sallam melaksanakan itikaf di waktu sepertiga ramadhan. Itikaf adalah mengkonsentrasikan diri dalam melakukan ketaatan kepada kepada Allah.
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa beri'tikaf pada bulan
Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau
beri'tikaf selama dua puluh hari”.
(HR.Bukhari)
(HR.Bukhari)
Nabi shallalu alaihi wa sallam bersabda "Sesungguhnya aku beritikaf pada sepertiga awal ramadhan, untuk mencari malam lailatul qadr, kemudian aku beritikaf pada sepertiga kedua. setelah itu, ada yang mendatangiku dan berkata: "sesungguhnya Lailatul Qadr berada pada sepertiga akhir. barangsiapa di antara kalian yang ingin melakukan itikaf maka hendaklah ia melakukannya"( HR.Bukhari).
Momen sepertiga harusnya membuat tidur bersantai menjadi tidak berarti. Saling mendo'akan yah biar kita stay tune terus dalam ketaatan. Semoga bertemu Ramadhan. Aamiin.
Sumber bacaan: Majelis Bulan Ramadhan karya syaikh Muhammad bin shalih al Utsaimin
Pict from Tumblr
Sumber bacaan: Majelis Bulan Ramadhan karya syaikh Muhammad bin shalih al Utsaimin
Pict from Tumblr
16 Sya'ban 1434
Baru kali ini saya menulis pake acara berpikir keras, lama ei baru selesai
:)
Episode berikutnya dalam sejarah kemenangan kaum
muslimin di bawah bimbingan kenabian yang terjadi di bulan Ramadhan adalah
Fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah). Peristiwa ini terjadi pada tahun delapan
Hijriyah. Dengan peristiwa ini, Allah menyelamatkan kota Makkah dari belenggu
kesyirikan dan kedhaliman, menjadi kota bernafaskan Islam, dengan ruh tauhid dan sunnah. Dengan peristiwa ini, Allah
mengubah kota Makkah yang dulunya menjadi lambang kesombongan dan keangkuhan
menjadi kota yang merupakan lambang keimanan dan kepasrahan kepada Allah
ta’ala.
Abu Sufyan berkata,
“Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?”
Ali menjawab,
“Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.”
Abu Sufyan kemudian berdiri di masjid dan berkata,
“Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!”
Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.
Abbas berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu adalah Nubuwah.”
Bendera Anshar dipegang oleh Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu. Ketika melewati tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa’ad berkata,“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.”
Ketika ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, perkataan Sa’ad ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau pun menjawab,
“Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.”
Beliau mengumumkan kepada penduduk Makkah, “Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”
Sebab
Terjadinya Fathu Makkah
Diawali dari perjanjian damai antara kaum
muslimin Madinah dengan orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota
kesepakatan Shulh Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota
perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu,
baik kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan kaum muslimin Madinah
atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan suku Bakr bergabung di kubu
orang kafir Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan
darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian
Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan senjata. Namun, secara licik,
Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku
Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani
Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir
Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata pada Bani Bakr. Akhirnya,
datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang
dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr.
Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar
perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk
memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di Madinah, dia memberikan penjelasan
panjang lebar kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, namun beliau
tidak menanggapinya dan tidak memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu
Bakar dan Umar radliallahu ‘anhuma agar mereka memberikan bantuan untuk
membujuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Namun usahanya ini gagal.
Terakhir kalinya, dia menemui Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
agar memberikan pertolongan kepadanya di hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa
sallam. Untuk kesekian kalinya, Ali pun menolak permintaan Abu Sufyan.
Dunia terasa sempit bagi Abu Sufyan, dia pun terus memelas agar diberi solusi.
Kemudian, Ali memberikan saran, “Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun
solusi yang bermanfaat bagimu. Akan tetapi, bukankah Engkau seorang pemimpin
Bani Kinanah? Maka, bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepada
orang-orang. Kemudian, kembalilah ke daerahmu.”
“Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?”
Ali menjawab,
“Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.”
Abu Sufyan kemudian berdiri di masjid dan berkata,
“Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!”
Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.
Dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan
perlengkapan perang. Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah.
Beliau barsabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak
mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.”
Dalam kisah ini ada pelajaran penting yang bisa
dipetik, bahwa kaum muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai
dengan orang kafir. Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan
seimbang. Artinya tidak boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama
tahu. Allah berfirman,
“Jika
kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka
kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan sama-sama tahu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Al Anfal: 58)
Kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu
‘anhu
Untuk menjaga misi kerahasiaan ini, Rasulullah
mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu
Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar
ada anggapan bahwa beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu, ada
seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat untuk
dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan keberangkatan Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam menuju Makkah untuk melakukan serangan mendadak. Surat
ini beliau titipkan kepada seorang wanita dengan upah tertentu dan langsung
disimpan di gelungannya. Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada
NabiNya tentang apa yang dilakukan Hatib. Beliau-pun mengutus Ali dan Al Miqdad
untuk mengejar wanita yang membawa surat tersebut.
Setelah Ali berhasil menyusul wanita tersebut,
beliau langsung meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan
bahwa dirinya tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan tunggangannya, namun
tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau
kami akan menelanjangimu.”
Setelah tahu kesungguhan Ali radhiyallahu
‘anhu, wanita itupun
menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.
Sesampainya di Madinah, Ali langsung menyerahkan
surat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dalam surat
tersebut tertulis nama Hatib bin Abi Balta’ah. Dengan bijak Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam menanyakan alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta’ah pun
menjawab:
“Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi
Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad dan
tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku
bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara
tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang
bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku
ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana.”
Dengan serta merta Umar bin Al Khattab menawarkan
diri, “Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal
lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta bersikap
munafik.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallamdengan bijak menjawab
“Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang
pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.”
Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan,
“Allah dan rasulNya lebih mengetahui.”
Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau berharap
dengan membocorkan rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy terhadap
dirinya, sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan keadaan
ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di Makkah.
Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan dan
dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang kisah
shahabat Hatib radhiyallahu ‘anhu ini diabadikan oleh Allah dalam
firmanNya,
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai
teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena
rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran
yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu
beriman kepada Allah….”
(Qs. Al Mumtahanah: 1)
Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari
kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu adalah bahwa
sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai
menyebabkan ancaman bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir,
selama loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di
atas, Allah menyebut orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan
panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan bahwa
status mereka belum kafir.
Pasukan Islam Bergerak Menuju Makkah
Kemudian, beliau keluar Madinah bersama sepuluh
ribu shahabat yang siap perang. Beliau memberi Abdullah bin Umi Maktum tugas
untuk menggantikan posisi beliau di Madinah. Di tengah jalan, beliau bertemu
dengan Abbas, paman beliau bersama keluarganya, yang bertujuan untuk berhijrah
dan masuk Islam. Kemudian, di suatu tempat yang disebut Abwa’, beliau berjumpa
dengan sepupunya, Ibnul Harits dan Abdullah bin Abi Umayah. Ketika masih kafir,
dua orang ini termasuk diantara orang yang permusuhannya sangat keras terhadap
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dengan kelembutannya, Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam menerima taubat mereka dan masuk Islam.
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
bersabda tentang Ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu, “Saya berharap dia
bisa menjadi pengganti Hamzah radhiyallahu ‘anhu”.
Setelah beliau sampai di suatu tempat yang
bernama Marra Dhahraan, dekat dengan Makkah, beliau memerintahkan pasukan untuk
membuat obor sejumlah pasukan. Beliau juga mengangkat Umar radhiyallahu
‘anhu sebagai penjaga.
Malam itu, Abbas berangkat menuju Makkah dengan
menaiki bighal (peranakan kuda dan keledai) milik Nabi shallallahu ‘alahi
wa sallam. Beliau mencari penduduk Makkah agar mereka keluar menemui Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam dan meminta jaminan keamanan, sehingga tidak terjadi
peperangan di negeri Makkah. Tiba-tiba Abbas mendengar suara Abu Sufyan dan
Budail bin Zarqa’ yang sedang berbincang-bincang tentang api unggun yang besar
tersebut.
“Ada apa dengan dirimu, wahai Abbas?” tanya Abu
Sufyan
“Itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
di tengah-tengah orang. Demi Allah, amat buruklah orang-orang Quraisy. Demi
Allah, jika beliau mengalahkanmu, beliau akan memenggal lehermu. Naiklah ke
atas punggung bighal ini, agar aku dapat membawamu ke hadapan Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam, lalu meminta jaminan keamanan kepada beliau!” jawab
Abbas.
Maka, Abu Sufyan pun naik di belakangku. Kami pun
menuju tempat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Ketika melewati
obornya Umar bin Khattab, dia pun melihat Abu Sufyan. Dia berkata,
“Wahai Abu Sufyan, musuh Allah, segala puji bagi
Allah yang telah menundukkan dirimu tanpa suatu perjanjian-pun. Karena
khawatir, Abbas mempercepat langkah bighalnya agar dapat mendahului Umar.
Mereka pun langsung masuk ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.
Setelah itu, barulah Umar masuk sambil berkata,
“Wahai Rasulullah, ini Abu Sufyan. Biarkan aku memenggal lehernya.”
Abbas pun mengatakan, “Wahai Rasulullah, aku
telah melindunginya.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
bersabda, “Kembalilah ke kemahmu wahai Abbas! Besok pagi, datanglah ke sini!”
Esok harinya, Abbas bersama Abu Sufyan menemui
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau bersabda,”Celaka wahai Abu
Sufyan, bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa tiada ilah
(sesembahan) yang berhak disembah selain Allah?”
Abu Sufyan mengatakan, “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu. Jauh-jauh hari aku sudah menduga,
andaikan ada sesembahan selain Allah, tentu aku tidak membutuhkan sesuatu apa
pun setelah ini.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
bersabda,”Celaka kamu wahai Abu Sufyan, bukankah sudah saatnya kamu mengakui
bahwa aku adalah utusan Allah?”
Abu Sufyan menjawab,”Demi ayah dan ibuku sebagai
jaminanmu, kalau mengenai masalah ini, di dalam hatiku masih ada sesuatu yang
mengganjal hingga saat ini.”
Abbas menyela, “Celaka kau! Masuklah Islam!
Bersaksilah laa ilaaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah sebelum beliau
memenggal lehermu!”
Akhirnya Abu Sufyan-pun masuk Islam dan
memberikan kesaksian yang benar.
Tanggal 17 Ramadhan 8 H, Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam meninggalkan Marra Dzahran menuju Makkah. Sebelum
berangkat, beliau memerintahkan Abbas untuk mengajak Abu Sufyan menuju jalan
tembus melewati gunung, berdiam di sana hingga semua pasukan Allah lewat di
sana. Dengan begitu, Abu Sufyan bisa melihat semua pasukan kaum muslimin. Maka
Abbas dan Abu Sufyan melewati beberapa kabilah yang ikut gabung bersama pasukan
kaum muslimin. Masing-masing kabilah membawa bendera. Setiap kali melewati satu
kabilah, Abu Sufyan selalu bertanya kepada Abbas, “Kabilah apa ini?” dan setiap
kali dijawab oleh Abbas, Abu Sufyan senantiasa berkomentar, “Aku tidak ada
urusan dengan bani Fulan.”
Setelah agak jauh dari pasukan, Abu Sufyan
melihat segerombolan pasukan besar. Dia lantas bertanya, “Subhanallah, wahai
Abbas, siapakah mereka ini?”
Abbas menjawab: “Itu adalah Rasulullah bersama
muhajirin dan anshar.”
Abu Sufyan bergumam, “Tidak seorang-pun yang sanggup dan kuat menghadapi
mereka.”Abbas berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu adalah Nubuwah.”
Bendera Anshar dipegang oleh Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu. Ketika melewati tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa’ad berkata,“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.”
Ketika ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, perkataan Sa’ad ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau pun menjawab,
“Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.”
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
memerintahkan agar bendera di tangan Sa’d diambil dan diserahkan kepada anaknya,
Qois. Akan tetapi, ternyata bendera itu tetap di tangan Sa’d. Ada yang
mengatakan bendera tersebut diserahkan ke Zubair dan ditancapkan di daerah
Hajun.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
melanjutkan perjalanan hingga memasuki Dzi Thuwa. Di sana Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam menundukkan kepalanya hingga ujung jenggot beliau yang
mulia hampir menyentuh pelana. Hal ini sebagai bentuk tawadlu’ beliau kepada
Sang Pengatur alam semesta. Di sini pula, beliau membagi pasukan. Khalid bin
Walid ditempatkan di sayap kanan untuk memasuki Makkah dari dataran rendah dan
menunggu kedatangan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Shafa.
Sementara Zubair bin Awwam memimpin pasukan sayap kiri, membawa bendera Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam dan memasuki Makkah melalui dataran tingginya. Beliau
perintahkan agar menancapkan bendera di daerah Hajun dan tidak meninggalkan
tempat tersebut hingga beliau datang.
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
memasuki kota Makkah dengan tetap menundukkan kepala sambil membaca firman
Allah:
“Sesungguhnya
kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Qs. Al Fath: 1)
Beliau mengumumkan kepada penduduk Makkah, “Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”
Beliau terus berjalan hingga sampai di Masjidil
Haram. Beliau thawaf dengan menunggang onta sambil membawa busur yang beliau
gunakan untuk menggulingkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah yang beliau
lewati. Saat itu, beliau membaca firman Allah:
“Yang
benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu
adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
(Qs. Al-Isra’: 81)
“Kebenaran
telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan
mengulangi.” (Qs. Saba’: 49)
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
memasuki Ka’bah. Beliau melihat ada gambar Ibrahim bersama Ismail yang sedang
berbagi anak panah ramalan.
Beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan
mereka. Demi Allah, sekali-pun Ibrahim tidak pernah mengundi dengan anak panah
ini.”
Kemudian, beliau perintahkan untuk menghapus semua
gambar yang ada di dalam Ka’bah. Kemudian, beliau shalat. Seusai shalat beliau
mengitari dinding bagian dalam Ka’bah dan bertakbir di bagian pojok-pojok
Ka’bah. Sementara orang-orang Quraisy berkerumun di dalam masjid, menunggu
keputusan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam.
Dengan memegangi pinggiran pintu Ka’bah, beliau
bersabda:
“Wahai
orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dan
pengagungan terhadap nenek moyang. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.”
“Wahai
orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan
terhadap kalian?”
Merekapun menjawab, “Yang baik-baik, sebagai
saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.”
Beliau bersabda,“Aku sampaikan kepada kalian
sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan
atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian!
Sesungguhnya kalian telah bebas!”
Pada hari kedua, Nabi shallallahu ‘alahi wa
sallam berkhutbah di hadapan manusia. Setelah membaca tahmid beliau
bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah.
Maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
menumpahkan darah dan mematahkan batang pohon di sana. Jika ada orang yang
beralasan dengan perang yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,
maka jawablah: “Sesungguhnya Allah mengizinkan RasulNya shallallahu ‘alahi
wa sallam dan tidak mengizinkan kalian. Allah hanya mengizinkan untukku
beberapa saat di siang hari. Hari ini Keharaman Makkah telah kembali
sebagaimana keharamannya sebelumnya. Maka hendaknya orang yang hadir
menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
diizinkan Allah untuk berperang di Makkah hanya pada hari penaklukan kota
Makkah dari sejak terbit matahari hingga ashar. Beliau tinggal di Makkah selama
sembilan hari dengan selalu mengqashar shalat
dan tidak berpuasa Ramadhan di
sisa hari bulan Ramadhan.
Sejak saat itulah, Makkah menjadi negeri Islam,
sehingga tidak ada lagi hijrah dari Makkah menuju Madinah.
Demikianlah kemenangan yang sangat nyata bagi
kaum muslimin. Telah sempurna pertolongan Allah. Suku-suku arab
berbondong-bondong masuk Islam. Demikianlah karunia besar yang Allah berikan.
18 Sya’ban 1434 H