Yang suka ‘merasa’ adalah perempuan..

2:47:00 PM

Sudah lupa kapan tepatnya saya mulai jadi pemerhati kehebohan cerita ibu pekerja vs ibu penuh waktu, dulu sebelum menikah saya selalu ingin latah menyuarakan pendapat bahwa saya adalah pendukung ibu pekerja, jika ada yang mengecilkan peran seorang ibu pekerja maka bisa jadi saya akan ada di garda paling depan, menyuarakan bahwa bukan begitu adanya, ibu pekerja pun banyak loh yang bisa mendididk anak-anaknya dengan sukses. Setelah menikah pemahaman saya yang lalu itu mengalami pergeseran, tugas utama seorang perempuan setelah menikah adalah mengurus keluarganya, tapi ia berhak memiliki cita-cita dan bahagia dengan pilihannya. :)

----
Di saat saya mendengar kalimat ibu pekerja maka ingatan yang langsung terlintas adalah ibu-ibu pekerja yang berprofesi sebagai tukang panjat kelapa dan tukang bangunan di kampung saya. Dulu saya tidak melihat itu sebagai hal yang emejing, dan kurang paham bahwa tugas mencari nafkah itu ada pundak lelaki. Sekarang jadi kepikiran betapa banyak ibu-ibu diluar sana yang bekerja diluar fitrahnya sebagai perempuan karena keadaan yang menuntutnya demikian.

Beberapa bulan lalu, saya pernah membahas ini bersama suami saya, dalam obrolan kami saya sempat mengutarakan keinginan bahwa nanti jika saya tidak bekerja kantoran lagi saya tetap ingin aktif di luar rumah, dengan alasan, migren saya biasanya kambuh kalau mendekam di rumah terus. :D
 
Lalu tanpa sengaja saya bertemu potongan cuitan seorang ustadz yang menjadi viral di medsos beberapa waktu lalu, kebetulan saya mengikuti tulisan-tulisan beliau di media sosial dan juga membaca beberapa buku beliau, jadi saya  tidak langsung panas saat membaca komentar berbuih-buih dari ibu-ibu pekerja yang merasa tersudutkan, merasa tidak dimengerti, merasaa betapaa beratnya menjadi ibu pekerja, merasaaa, pokoknya merasa nggak terima saat ada yang mengecilkan perannya sebagai ibu hanya karena ia memilih bekerja.

Mulailah saya mengulik cuitan sang ustadz, karena yang di skrinshut cuma point 22, maka berarti ada point 1-21 dong, kemungkinan ada lanjutan dari point 22. 

Dan ternyataaaaah...

Yang suka ‘merasa’ adalah perempuan :)

Kemudian saya mikir kenapa ya ibu pekerja yang di tempat saya bekerja adem-adem saja menjalani pilihan mereka untuk jadi ibu pekerja, kenapa pula ibu-ibu di di media sosial jadi begitu gampang tersulut menyuarakan pendapat panjang kali lebar saat ada sedikit saja yang meragukan perannya sebagai seorang ibu.

Maka kepolah saya. hehe

Secara umum, dari hasil-hasil ngobrol-ngobrol dengan teman-teman yang bekerja ada beberapa alasan mengapa seorang perempuan ingin tetap bekerja.

Karena alasan Ekonomi (mau membantu suami, dan keluarga), Passion, Ada impian yang hendak di capai, Karena harus melunasi beberapa cicilan, Di Rumah sepi saat anak ke sekolah, Mau banget di rumah aja tapi belum bisaa, Butuh teman gaul, Tempat aktualisasi diri dan menyalurkan ilmu, Sebelum nikah udah kerja, kalau tiba-tiba di rumah aja bawaannya jadi kangen kerja, Migren kalau di rumah terus (Saya),dll.

Dalam prosen membuat tulisan ini saya sempat melemparkan pertanyaan di grup ibu-ibu tempat saya bekerja, isi pertanyaannya “Ibu-ibu kan di media sosial lagi rame tuh yang bahas ibu pekerja vs ibu rumahan yang berbuntut kegalauan ibu-ibu pekerja. Bolehkah dibagi tips-tips ibu sekalian bagaimana menikmati pilihan sebagai ibu pekerja, di tempat kerja kita ini berdasarkan pengamatan saya ibu-ibunya hepi-hepi dalam bekerja”

Respon yang datang langsung berapi dan semangat, tidak nampak kegaluan sedikit pun dari apa yang mereka jalani sebagai ibu pekerja. Terlihat kesadaran penuh bahwa apa yang mereka jalani hadir dari pilihan sadar,  jadi mari dinikmati selama tanggung jawab pada keluarga tetap terjaga.

Tapi yang menarik untuk saya adalah responnya kebanyakan datang dari ibu-ibu muda, ibu-ibu senior seperti sudah mahfum betapa urusan galau menggalau adalah wajar.

Hal menarik lain adalah salah satu direktur ditempat saya bekerja juga perempuan, pernah dalam satu kesempatan beliau membagi cerita bahwa sempat ada keinginan untuk resign saat anak beliau meninggal, alasan yang beliau ajukan kepemilik perusahaan adalah beliau ingin fokus mengurus anak. Jawaban dari pemilik perusahaan membuat saya merinding, bahwasanya, dengan wasilah ibu direktur banyak yang bisa mencari nafkah untuk keluarganya di tempat kami bekerja. Masyaallah.


Dikesempatan lain beliau juga mengatakan bahwa andai waktu dapat diputar maka beliau akan mengajarkan al qur'an pada anak beliau sejak dini, hal ini semacam penyesalan. Kesimpulan saya, menyeimbangkan peran ibu pekerja dan ibu rumah bukanlah perkara mudah, kesuksesan yang sebutkan di awal tulisan ini menjadi semacam tanya besar, adakah mendidik itu akan suskses jika waktu yang diberikan kepada anak hanya sebagian sedikit saja?

Untuk saya sendiri, status ibu pekerja tidak harus menjadi kegalauan jikapun ada yang mengecilkan peran sebagai ibu, toh yang paling tahu alasan kita adalah diri kita. Jujur adalah obat dari kegalauan itu, jangan sampai pilihan untuk bekerja tidak didukung oleh keadaan yang mengharuskan.

Sementara saya mencoba untuk biasa, ternyata sampai hari ini masih banyak yang membagi potongan cuitan sang ustadz lengkap dengan argumen panjang dari ibu-ibu pekerja, padahal cuitan sang ustadz jika dibaca baik-baik lebih berpulang ke dalil tentang peran seorang wanita dalam islam. Nggak ada yang salah.

Dan saya spontan  tersenyum lebar saat ada ibu pekerja dengan terbuka mengatakan bahwa ibu rumah tangga yang stay di rumah bebannya lebih berat, dia pengen banget jadi ibu rumah tangga rumahan seperti ibunya tapi belum bisa. Hehe, Komentar lain dari ibu yang sudah resign, kalau disuruh milih lebih enakan di rumah saja.

Dan banyak komentar lainnya.

Semua itu pilihan, yang paling penting cari tahu ilmunya dulu sebelum ambil keputusan, jangan karena keburu panas akhirnya kita membelakangi dalil ya kaka.. Menakar kepantasan kita bekerja harus dengan takaran syariat :) 

Untuk ibu pekerja ayoo semangat dan rajin-rajin mengintip niat, sebab hanya diri kita dan Allah lah yang tahu upaya-upaya kita menjadi yang terbaik untuk keluarga kita.

Gambar dari sini

Salam.





You Might Also Like

0 comments

I'm Proud Member Of